Tim dari Fakultas Biologi UGM berhasil meraih dua penghargaan dari Lomba Karya Tulis ILMIAH (LKTI) LOBI XX yang diselenggarakan Universitas Andalas. Dalam lomba tersebut tim UGM menyabet juara 1 nasional sekaligus penghargaan best presentation.
LKTI yang berlangsung dari 1 Januari hingga 6 Mei 2023 ini diikuti oleh sejumlah tim dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tim UGM beranggotakan Fikri Ramadhan, Ardan Putra Saleh Hutasuhut, dan Maulida Meilana Dewi dibimbing Dr. Wiko Arif Wibowo, S.Si mengajukan karya ilmiah berjudul “Kajian Etnobiologi Masyarakat Adat sebagai Strategi Konservasi Biodiversitas yang Berkelanjutan: Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat Lereng Gunung Merapi, Yogyakarta
Fikri menjelaskan dalam karya ilmiah yang mereka ajukan banyak membahas masyarakat lereng Gunung Merapi sebagai subjek utama penelitian. Gunung Merapi yang dikenal mempunyai tingkat biodiversitas tinggi ternyata menyimpan segudang kearifan lokal yang masih lestari sampai sekarang. Beberapa kearifan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat bahkan sejalan dengan prinsip konservasi biodiversitas.
Hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut, mengingat ancaman terhadap biodiversitas di kawasan lereng Gunung Merapi semakin meningkat seiring masifnya pembangunan, serta dampak perubahan iklim akibat ulah manusia,”paparnya dalam rilis yang diterima Senin(22/5).
Ia mengatakan kearifan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat tanpa disadari turut berperan dalam menjaga keasrian alam di lereng Gunung Merapi. Pengetahuan lokal secara turun temurun berperan penting dalam mengatur tindak perilaku masyarakat termasuk bagaimana masyarakat mengelola lingkungannya. Masyarakat yang masih bertahan dengan kearifan lokal ini akan bijak dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam di lingkungannya sendiri.
“Kearifan lokal ini memiliki ancaman utama yaitu modernisasi. Namun, karena adanya dukungan dari pemerintah, antusias masyarakat, dan peran dari Keraton Yogyakarta akhirnya kearifan lokal ini tetap eksis dan ada keberlanjutan,”ungkapnya.
Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan terdapat integrasi antara kearifan lokal masyarakat lereng Gunung Merapi dengan konservasi. Misalnya kearifan lokal Bersih Dusun dan Dandan kali yang berkaitan dengan upaya menjaga kebersihan lingkungan, Labuhan Gunung Merapi dan Merti Bumi dianggap sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepada alam. Kearifan lokal ini didukung oleh beberapa hal lain yaitu terdapatnya keistimewaan Gunung Merapi, landasan etnobiologi, dan landasan filosofis. Gunung Merapi memiliki keistimewaan tersendiri oleh masyarakat sekitar karena sebagai sumber kehidupan dan bisa juga menyebabkan kehancuran karena bencana.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa pemerintah melalui Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mendukung kearifan lokal melalui beberapa program. Beberapa diantaranya sosialisasi, masyarakat peduli api, masyarakat mitra polhut, dan pendanaan mitra. Selain itu, TNGM juga mengalokasikan wilayah hutan khusus sebagai penunjang kegiatan kearifan lokal yaitu pembuatan zona religi, budaya, dan sejarah. TNGM juga mendukung kegiatan komunitas masyarakat yang diinisiasi dari nilai kearifan lokal yang sejalan dengan konservasi biodiversitas yaitu kegiatan dari Forum Peduli Lingkungan Pencinta Alam Lereng Merapi (FPL-PALEM) dan juga hutan rakyat.
Sementara itu terkait dengan strategi konservasi biodiversitas berbasis etnobiologi ia menuturkan terdapat interaksi yang kuat antara sistem sosial dan sistem ekologi. Adanya persepsi masyarakat terhadap kesakralan gunung, mengakibatkan masyarakat mengambil seperlunya dari alam dan mengungkapkan rasa syukur ketika kebutuhannya telah terpenuhi dari alam. Rasa syukur ini dituangkan dalam bentuk mengembalikan apa yang sudah diambil ke alam misalnya sistem merumput yang berpindah-pindah yang mengakibatkan tumbuhan bisa memulihkan keadaannya lagi dan juga penanaman bibit pohon di hutan rakyat. Perilaku ini membentuk adanya lingkungan biologis yang berkelanjutan. Ketersediaan sumber daya alam yang berkelanjutan ini juga akan mendukung kesejahteraan manusia.
Fikri berharap beberapa bagian penelitian yang masih rumpang seperti dampak perilaku yang ditimbulkan dari kearifan lokal terhadap kegiatan konservasi biodiversitas dan tingkat keberhasilan dari kearifan lokal terhadap konservasi biodiversitas dapat diteliti lebih dalam lagi. Selain itu, diharapkan masyarakat bisa teredukasi tentang peran dari kearifan lokal yang bisa mengakibatkan kelestarian alam. Sesuai dengan falsafah “Memayu hayuning bawana” yaitu untuk menjaga harmonisasi hubungan tuhan, alam, dan manusia maka bisa melalui instrumen kearifan lokal masyarakat.
Penulis: Ika