Dunia pendidikan Indonesia terlihat kehilangan arah. Hal ini tampak dari dipisahkannya kebudayaan dari program pendidikan nasional pada era reformasi. Pendidikan hanya dimaknai sebagai teknik manajerial persekolahan yang hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan pendidikan karakter bangsa. Persoalan tersebut menjadi poin utama yang akan diurai dalam Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, 7-8 Mei 2012 di Balai Senat UGM.
Ketua panitia pengarah kongres, Prof. Sutaryo, menyebutkan pendidikan yang ada saat ini belum sesuai dengan karakter bangsa. Yang terlihat justru mengagung-agungkan konsep pendidikan barat, padahal lingkup sosial negara-negara maju cenderung eksploitatif dan mendidik manusia yang individualis. “Konsep pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara saat ini mengalami kebekuan. Yang terlihat justru pendidikan dengan konsep dari Barat menjadikan manusia individualis dan serakah, yang tentunya tidak pas dengan bangsa kita, juga melahirkan mentalitas ketidakpercayaan diri,†tuturnya, Jumat (5/4) di Balai Senat UGM.
Sutaryo mencontohkan sebagian pelaku pendidikan merasa berhasil apabila anak didiknya memperoleh nilai akademis tinggi dan cepat terserap di dunia kerja dan memenangkan berbagai kompetisi, meskipun minim rasa kepekaan sosial, tepa slira, dan kebangsaan. “Padahal esensi pendidikan lebih jauh dari itu. Pendidikan adalah upaya pembangunan peradaban bangsa, mencetak manusia Indonesia yang berkarakter Pancasila,†jelas peneliti pada Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM ini.
Melihat kondisi tersebut, UGM bersama dengan sekitar 26 perguruan tinggi di Yogyakarta dan instansi terkait berencana menggelar Kongres Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. “Dari kongres tersebut diharapkan terbentuk sebuah rekomendasi yang bersifat filosofis, ideologis, kebijakan, dan aplikasi pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia dan Pancasila,†tambahnya.
Sementara itu, Dr. Kunjana Rahardi, ketua panitia kongres menambahkan kegiatan yang akan digelar bertujuan untuk mengintegrasikan kembali pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan dalam sebuah perspektif strategi kebudayaan yang komperehensif. Melalui kongres ini diharapkan dapat dirumuskan prinsip-prinsip pendidikan,pengajaran, dan kebudayaan yang memadai bagi pengembangan peradaban Indonesia di tengah globalisasi.
Dalam kesempatan itu, Kunjana juga menyebutkan pendidikan Indoensia perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang bersifat nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik. “Pendidikan itu idealnya memanusiakan manusia. Kalau bisa konsisten menerapkan pendidikan yang nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik yang holistik, tidak sepotong-sepotong pasti bisa menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter Pancasila,†ujar pria yang mengajar di Universitas Sanata Dharma ini.
Selain menghadirkan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X, sebagai keynote speech, dalam kongres tersebut juga akan dihadirkan sejumlah pembicara. Beberapa di antaranya adalah Prof. Ir. Wiendu Nuryanti (Wamendikbud Bidang Kebudayaan), Prof. Dr. Ir. Musliar Kasim, M.S., (Wamendikbud Bidang Pendidikan), Prof. Dr. Ir., Djoko Santoso, M.Sc. (Dirjen Dikti), dan Dedy Gumilar (Anggota Komisi X DPR RI). Berikutnya, Prof. Dr. Sri Edi Swasono, K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), Prof. Dr. Malik Fadjar, Prof. Dr. Sastrapratedja serta sejumlah nara sumber lain dari berabagi perguruan tinggi di Indoensia. (Humas UGM/Ika)