Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan yang steril dari kekayaan budayanya sendiri berpotensi menghasilkan enclave dalam masyarakat. Oleh karenanya kebudayaan yang tidak menyatu dengan pendidikan akan cenderung asing bagi kehidupan dan mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.
Demikian disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat menjadi pembicara kunci dalam konggres Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bertema “Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Dalam Menghadapi Globalisasi”. Diungkapkan bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan dua proses satu nafas, memiliki keterkaitan yang berbeda kadarnya dengan kebudayaan. Pendidikan memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran. Meski begitu pengajaran dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan secara umum, karena ilmu yang diajarkan dan dipelajari merupakan alat pendidikan. “Dengan demikian perlu ditunjukkan keterpaduan hubungan antara pengajaran, pendidikan dan kebudayaan,” ungkapnya saat mengurai makalah “Menggagas Renaisans Pendidikan Berbasis Kebudayaan,” papar Sultan di ruang Balai Senat, Senin (7/5).
Sultan menyebut rekomendasi para ahli secara umum berkesimpulan bila modernitas telah kehabisan tenaga. Sebagai jalan keluar maka dapat diwakili pandangan Fitjrof Capra, ajakan Kembali pada Paradigma Kebudayaan. Bagi negeri-negeri yang termodernisasi lanjut dan sebagian telah memasuki apa yang disebut modernisasi radikal bisa kembali ke paradigma kebudayaan dengan ‘berkiblatlah ke Timur’. “Penyederhanaan ini tak lain karena di belahan Timur anasir-anasir kebudayaan sebagian belum terbekukan dan tersisihkan dalam diri manusia dan masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat negeri timur, termasuk Indonesia menanggapinya?. Paling tidak tanggapan dapat dipetakan ke dalam dua kemungkinan, yaitu tipe ‘struktural dan tipe kultural’,” ungkap Sultan.
Tipe struktural dapat dianalogikan dengan struktur kereta api bergerbong panjang yang berjalan di atas rel tunggal. Jika modernitas masyarakat dunia diletakkan pada garis kontinum, sesuai perspektif dan teori-teori modernisasi, maka masyarakat tradisional dan semi modern di Timur adalah gerbong-gerbong belakang yang mengekor jejak gerbong-gerbong masyarakat modern Barat yang ada dibagian depan.
Ketika gerbong masyarakat Barat telah berkiblat ke kebudayaan Timur (berbalik arah), masyarakat tradisional dan semi-modern Timur berada di gerbong belakang justru tetap mengarah ke modernisasi ala Barat. “Dengan kata lain, masyarakat Timur harus ter-Baratkan sepenuhnya dulu, untuk kemudian berbalik ke paradigma kebudayaan Timur, jika masih tersisa waktu. Sepanjang proses itulah hampir pasti yang terjadi adalah krisis terlembaga,” tuturnya.
Sedangkan tanggapan Tipe Kultural, dalam pandangan Sultan dapat dianalogikan dengan Pesta Oahraga Olimpiade. Bahwa dalam Olimpiade terbuka kedudukan olahraga dan peserta adalah sama (kompetisi-koeksistensi), tetapi masing-masing tipe olahraga memiliki ciri-ciri tertentu yang dipengaruhi oleh ciri-ciri alamiah manusia, misalnya ukuran badan atau karakter kultural tertentu.
Jika paradigma kembali ke kebudayaan ditandai dengan kuatnya minat masyarakat dunia pada olahraga ber-ranah esoterik-spiritual ke-Timuran, yang notabene dikuasai oleh masyarakat Timur, secara teoritis dan ideal peluang atlet Timur merajai Olimpiade lebih terbuka dibanding atlet Barat. “Namun bisa jadi tanggapan empiris masyarakat Timur boleh jadi sebaliknya,” ungkapnya.
Mereka yang berpostur badan rata-rata kecil-pendek lebih aktif mengembangkan olahraga basket ketimbang mendirikan padepokan pencak silat, maka hampir dipastikan orang Timur kesulitan mencatatkan prestasi di arena Olimpiade. Namun sebaliknya bila mau mengembangkan padepokan pencak silat maka kemungkinan orang Timur mencatatkan prestasi gemilang di olimpiade sangat terbuka. “Karena dasar-dasar pencak silat ada di Timur. Oleh karena itu, kita sekarang ini sesungguhnya tengah mengalami krisis identitas,” imbuhnya.
Sementara itu, mantan Mendiknas A. Malik Fadjar dalam makalah “Spiritualitas Watak Kebangsaan” menegaskan wujud dan perwujudan atau aplikasi spiritualisasi watak kebangsaan dari sudut pandang “Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dalam Menghadapi Globalisasi” diperlukan pendekatan yang “luwes dan luas.” Luwes dalam arti tidak mengarah kepada penyeragaman dan tidak bersifat indoktrinatif, dan luas dalam arti mencakup berbagai aspek kehidupan dengan segala kemajemukannya. (Humas UGM/ Agung)