YOGYAKARTA-Negara saat ini dinilai terlalu longgar terhadap radikalisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di Indonesia. Dengan kelonggaran dan toleran terhadap praktik radikalisme ditakutkan demokratisasi yang tengah dibangun tidak berjalan dengan baik. “Demokrasi akan tumbuh dengan baik tanpa adanya radikalisme,†kata Prof. Dr. Muhadjir Muhammad Darwin, M.P.A. dalam diskusi Anti Radikalisme dan Prospek Demokrasi di Indonesia, yang digelar di PSKK UGM, Kamis (24/5).
Muhadjir Darwin menambahkan radikalisme harus dilawan dengan “radikalisme†pula. Dalam hal ini, negara terutama aparat penegak hukum, seperti kepolisian memiliki peran dan tanggung jawab dalam melawan radikalisme. Sikap “radikalisme†negara yang dimaksud, misalnya radikal dalam penegakan hukum. “Di sini negara yang punya tanggung jawab untuk melawan radikalisme seperti dalam penegakan hukum. Selain itu, janganlah negara berada pada posisi yang gamang dan terjebak pada mitos toleran dengan praktik radikalisme yang mengedepankan kekerasan,†imbuh Muhadjir.
Selain negara yang harus “radikal†melawan radikalisme, masyarakat sipil yang tidak mendukung praktik radikalisme sudah saatnya untuk menggalang kekuatan dan bersuara. Muhadjir yang juga Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM ini melihat negara terjebak hanya sekadar menjaga citra dan popularitas dengan sikapnya yang gamang dan toleran dengan praktik radikalisme. Untuk mencapai demokratisasi yang diinginkan, negara harus selalu proaktif menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, seperti equality (persamaan), liberty (kebebasan), dan fraternity (persaudaraan). “Negara harus menjamin, menghargai, melindungi serta memfasilitasi penggunaan hak-hak setiap individu,†ujarnya.
Sementara itu, Prof. Mark Woodward dari Arizona State University dalam diskusi tersebut mengatakan sebagai sebuah ideologi, radikalisme sangat dimungkinkan tumbuh di mana saja, termasuk agama. Bahkan, di dalam agama yang sama sekalipun sangat mungkin muncul aliran yang berbeda. “Sama agamanya, tapi bisa berbeda alirannya. Ada yang mendukung pluralisme, tapi ada pula yang cenderung radikal atau fundamentalis,†kata Mark. (Humas UGM/Satria AN)