YOGYAKARTA-Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik, yang menjadi ciri sistem politik otoritarian, menuju desentralistik sebagai ciri dari sistem politik demokratis ternyata tidak membawa banyak perubahan terhadap nasib pengusaha industri kecil. Kebijakan industri kecil ternyata hanya menjadi arena pertarungan dari elite-elite lokal, yakni penguasa, elite pengusaha, dan elite politik di DPRD dan partai politik. “Kebijakan industri kecil lebih menonjol sebagai arena untuk mendesakkan kepentingan politik maupun ekonomi dari elite-elite lokal dibandingkan kebermanfaatan bagi pengusaha industri kecil,†kata Hempri Suyatna saat ujian terbuka Program Doktor Sosiologi Fakultas Isipol, Sabtu (26/5).
Dalam kesempatan tersebut, Hempri mempertahankan disertasi yang berjudul Dominasi Elit Lokal dalam Arena Pengembangan Industri Kecil di Era Desentralisasi Studi di Kabupaten Banaran, Provinsi Mataram. Hempri mengatakan dalam pertarungan pada proses penyusunan dan implementasi kebijakan industri kecil, masing-masing aktor melakukan berbagai strategi dan manuver untuk mendominasi aktor yang lain. Implikasinya, kebijakan industri kecil cenderung hanya mendatangkan manfaat bagi aktor dominan dan perkembangan usaha dari pengusaha industri kecil kurang begitu berkembang, termasuk di Kabupaten Banaran.
Kuatnya kepentingan politis yang mewarnai kebijakan-kebijakan industri kecil di Kabupaten Banaran akhirnya menyebabkan kebijakan yang dipandang tidak membawa keuntungan politis dan ekonomis cenderung diabaikan. Ia mencontohkan kebijakan Katongan, Jigongan, Getas, dan Lemah Abang di sektor pangan. Kurang adanya relasi politik yang bagus antara Lurah Bangunrejo dengan Bupati Banaran menyebabkan perkembangan kebijakan Kajigelem cenderung tidak mengalami perkembangan yang berarti, padahal dari sisi potensi dan konsep, kebijakan Katongan, Jigongan, Getas, dan Lemah Abang lebih baik dari kebijakan Gabugan Mantingan Trini. “Ini juga terjadi pada industri kecil makanan. Potensi industri kecil makanan di Banaran besar, tapi tidak mendapat prioritas utama untuk dikembangkan karena dianggap tidak memberikan manfaat politis bagi penguasa maupun aktor lainnya,†kata dosen di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Isipol UGM ini.
Menurut Hempri, aktor-aktor lokal yang memiliki modal lebih besar akhirnya berhasil memanfaatkan arena kebijakan industri kecil untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan. Penguasa semakin memperoleh legitimasi dan dukungan politik kekuasaan dari rakyat. Di sisi lain, nasib berbeda dialami pengusaha industri kecil. Keterbatasan modal yang dimiliki pengusaha industri kecil untuk bertarung dalam arena pengembangan industri kecil menyebabkan mereka mengalami kekalahan dan kemudian sekadar menjadi subordinat dalam proses penyusunan dan implementasi kebijakan industri kecil. “Posisi pengusaha industri kecil cenderung berada di pinggiran dan hanya sekadar objek dari kebijakan,†kata pria kelahiran Sleman, 8 Juli 1978 ini.
Dalam penelitiannya, Hempri juga melihat di era desentralisasi dan demokratisasi di tingkat lokal yang memberikan peluang kebebasan dan kemerdekaan bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat, upaya pengembangan modal sosial memerlukan strategi pendukung, yakni politik transaksional. Politik transaksional dalam hal ini adalah sebagai pendukung modal sosial dan bukan sebagai faktor utama yang menentukan dominasi penguasa terhadap aktor-aktor lain. “Modal sosial yang didukung dengan strategi politik transaksional menjadi senjata ampuh bagi penguasa untuk melakukan dominasi tersebut,†pungkas Hempri yang lulus ujian doktor dengan predikat sangat memuaskan itu. (Humas UGM/Satria AN)