Terbitnya surat edaran Kemendikbud Nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 tentang Penulisan dan Publikasi Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 menimbulkan kontroversi dan isu kontemporer di lingkungan akademisi. Di satu sisi, kebijakan tersebut merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Di sisi lain, bila diterapkan kebijakan itu menimbulkan dilema sebab di Indonesia bertebaran perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dengan berbagai visi, misi, bentuk, dan kurikulum.
Tidak sedikit perguruan tinggi yang dikelola secara profesional, tetapi ada pula yang dikelola secara abal-abal. Di kota Yogyakarta saja terdapat ratusan perguruan tinggi, mulai dari yang terkenal hingga yang tidak “terdengar”. Belum lagi hampir di setiap kabupaten atau kotamadia saat ini berdiri perguruan tinggi. Berbagai permasalahan dihadapi perguruan tinggi menyangkut kualitas sumber daya manusia, khususnya dosen yang andal, mutu lulusan, penelitian, hingga karya-karya intelektual yang dihasilkan.
Terkait dengan hal itu, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) UGM merangkum semua permasalahan tersebut dalam Seminar dan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Publikasi Ilmiah, Tiket Baru untuk Meraih Gelar Akademik’. Kegiatan yang berlangsung di Ruang Multimedia UGM, Senin (4/6), menghadirkan pembicara Prof. Dr. Harno Pranowo, Pengelola Jurnal Indo of Chem, dan Prof. Dr. Ir. Zuprizal, D.E.A., Asisten Wakil Rektor Senior P3M.
Sebagai akademisi yang berhasil menembus dua jurnal peternakan internasional di Amerika, Zuprizal mengatakan karya tulisan yang berhasil menembus jurnal sebagai ganti syarat penulisan tesis memang cukup menjanjikan. Meski masih dalam perdebatan, bila hal ini disetujui tentu menjadi keuntungan mahasiswa karena tidak harus menulis tebal-tebal laporan akhir.
Pengalaman membuktikan tesis/disertasi yang telah disusun sebagai syarat karya ilmiah untuk kelulusan terkadang hanya sebagai karya ilmiah akhir yang tidak dimanfaatkan. Padahal, untuk menyusunnya terkadang harus mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit. “Hingga menjual mobil pun mungkin dilakukan. Namun, apa yang terjadi setelah dinyatakan lulus dan diwisuda? Kan biasanya hanya dirayakan dengan makan-makan, sementara yang namanya tugas karya ilmiah akhir seperti tidak ada artinya. Berbeda dengan tulisan ilmiah yang menembus jurnal-jurnal internasional, cukup 7 hingga 8 halaman, namun memberikan banyak manfaat bagi banyak pihak karena dibaca banyak orang,” katanya. (Humas UGM/ Agung)