YOGYAKARTA – Karya sastra tidak hanya dinikmati sebagai bentuk dialektik antara teks dan pembacanya. Lebih dari itu, ia menjadi bagian penyampaian kondisi sebuah masyarakat di masa lampau dengan perubahan dari pertemuan kebudayaan. La Galigo ialah salah satu karya sastra teks Bugis kuno berbentuk epik yang ditulis pada abad ke-13. Dari naskah La Galigo ini akhirnya dapat diketahui kondisi pada masa-masa awal masuknya Islam di tanah Bugis. “Sastra La Galigo tidak hanya dinikmati sebagai sastra, tapi juga sebagai sarana islamisasi bagi orang Bugis,†kata dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Andi Muhammad Akhmar, S.S., M.Hum., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (5/6).
Ditambahkannya bahwa islamisasi yang memanfaatkan sastra dilakukan tanpa menyingkirkan unsur-unsur lama orang Bugis, tetapi menyesuaikan unsur Islam dengan sistem kebahasaan Bugis yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik. Padahal, sebelum menerima agama Islam, orang Bugis di Sulawesi Selatan telah menganut sebuah kepercayaan kuno, yakni kepercayaan terhadap Dewata Seuwae (Tuhan Yang Tunggal). “Orang Bugis biasa menyebutnya Dewata Sisinae,†kata Akhmar. Sisa-sisa kepercayaan pada Dewata Seuwae ini dapat dilihat dalam masyarakat To Lotang di Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang.
Dewa-dewa dalam kepercayaan Bugis Kuno sebagaimana dikisahkan dalam La Galigo berdiam di dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Buriq Liu). Namun, seiiring dengan masuknya Islam dari Asia Barat, kepercayaan kepada Dewata Sisinae tergeser dengan konsep Allah Swt. melalui ajaran-ajaran tauhid. Pengucapan doa-doa dan ayat Quran pun juga disesuaikan dengan pengucapan bahasa Bugis. Dalam praktik ibadah, seperti mandi, berwudhu, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai bagian mantra Bugis. “Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Bugis,†terangnya.
Hingga kini, naskah La Galigo diyakini masyarakat Bugis sebagai kitab sakral yang tidak boleh dibaca tanpa didahului dengan sebuah ritual tertentu, seperti menyembelih sapi. Pada umumnya naskah dibaca dengan cara dilagukan pada saat akan membangun rumah, musim tanam, pesta perkawinan atau doa tolak bencana. (Humas UGM/Gusti Grehenson)