Secara umum, pelaksanaan ujian tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Yogyakarta berlangsung lancar. Untuk peserta yang berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, panitia memang tidak menyediakan soal ujian dalam huruf braile. Namun, peserta mendapatkan layanan khusus, yakni pengawas membacakan soal dan mengisikan jawaban peserta dalam lembar jawab. “Bagi mereka yang berkebutuhan khusus, ada toleransi ekstra waktu. Sudah ada edaran untuk itu. Kita jamin proses ujian berjalan fair. Kalau harus membuat soal dalam huruf braile punya konsekuensi biaya pembuatan. Ke depan, kita akan tanya preferensi peserta apakah dibacakan atau dengan huruf braile,” kata Prof. Dr. Rohmat Wahab, M.Pd, Sekretaris Umum SNMPTN 2012, Selasa (12/6).
Prof. Dr. Budi Prasetyo Widyobroto, DESS., DEA, Ketua Panitia Lokal SNMPTN Yogyakarta, menjelaskan sebelumnya terjadi lonjakan peserta yang berkebutuhan khusus. Namun setelah dikonfirmasi, ternyata masyarakat banyak yang tidak paham bahwa kebutuhan khusus dianggap sebagai prioritas tertentu. Jumlah peserta di Yogyakarta sebanyak 36.490 orang dengan rincian 14.700 peserta kelompok IPA, 15.680 peserta dari kelompok IPS, dan 6.110 peserta kelompok IPC.
Sementara itu, Prof. Dr. Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, menjelaskan untuk kuota mahasiswa yang diterima, pemerintah tahun 2012 menambah 10 persen selain yang diterima melalui jalur undangan sebanyak 54 ribu mahasiswa. “Kapasitas kuota yang diterima sebanyak 167 ribu dengan kuota tambahan sekitar 16 ribu. Jadi, untuk jalur SNMPTN 2012 kita akan terima 130 ribu mahasiswa di seluruh PTN yang dikelola Kemendikbud ditambah 6 universitas di bawah Kementerian Agama,” kata Djoko.
Djoko Santoso menambahkan untuk mengisi 10 persen tambahan kuota, masing-masing rektor PTN sudah berembug guna mencapai tambahan kuota, termasuk untuk penambahan program studi berbeda-beda sesuai kebutuhan. Latar belakang penambahan kuota disebabkan hingga kini angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi masih rendah, yakni 27,1 persen. Itu artinya anak-anak yang usia 18-23 tahun yang seharusnya menikmati pendidikan di perguruan tinggi masih rendah sehingga harus diperluas aksesnya. Cara yang dilakukan ialah PTN yang mengikuti SNMPTN menambah daya tampung dan tiap tahun akan ditambah terus. “Konsekuensi infrastruktur harus terpenuhi, perbaiki. Itulah yang jadi dasar peningkatan jadi 10 persen,” kata Djoko.
Pimpinan tiap universitas diberikan kebebasan untuk memenuhi kuota. Perguruan tinggi berbeda dengan sekolah, agar kelas efisien dan efektif tergantung pada kebijakan masing-masing. Terkait dengan penambahan kuota bagi mahasiswa asal Indonesia bagian timur, seperti Papua dan Papua Barat, Dirjen Dikti telah berkomunikasi dengan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) tentang kebutuhan tenaga profesional bidang kedokteran, teknik, ekonomi akuntansi, dan statistika. “Anak-anak dari Papua mendaftar lewat SNMPTN dikompetisikan antar mereka sendiri. Mereka bisa masuk kalau terkait dengan pembangunan wilayah timur. Sebanyak 32 PTN yang ada mengambil jatah tiga mahasiswa, empat mahasiswa atau lima mahasiswa, hingga 876 total kuota terpenuhi,” katanya. (Humas UGM/ Agung)