YOGYAKARTA – Persoalan keamanan dan munculnya keinginan disintegrasi Papua merupakan dampak dari tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat selama pemberian otonomi khusus (otsus) sejak 2001. Pasalnya, pemberian otsus lebih didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat untuk meredam disintegrasi nasional. Akibatnya, kebijakan desentralisasi asimetris ini cenderung spontan, tidak terencana, dan kurang memiliki visi yang jelas. Pelaksanaan otsus bahkan melahirkan pemerintahan yang tidak efektif dan kebijakan yang tidak efisien, makin jauh dari arah kesejahteraan yang hendak dicapai.
Demikian kesimpulan hasil penelitian yang disampaikan Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM dalam Evaluasi Implementasi Desentralisasi Asimetris, Belajar dari Pengalaman Aceh dan Papua, Senin (18/6). Anggota tim peneliti JPP meliputi Cornelis Lays, Abdul Gaffar Karim, Ari Dwipayana, Bayu Dardia, dan Mada Sukmajati.
Mada Sukmajati mengatakan pemberian otonomi khusus seharusnya tidak lagi bersifat darurat, tetapi harus digeser pada semangat ke pendekatan peningkatan kesejahteraan. “Karena pendekatan kesejahteraan lebih menjanjikan untuk mengatasi persoalan Papua,†katanya.
Yang tidak kalah penting, perlu dilakukan peningkatan akuntabilitas dan transparansi dana otsus karena pengelolaan dana otsus selama ini dikelola secara elitis yang menyebabkan besarnya ruang terjadi penyimpangan. “Perlu peningkatan koordinasi kelembagaan di semua level pusat, provinsi, dan kabupaten,†katanya.
Persoalan otsus di Aceh tidak serumit di Papua. Dari aspek kelembagaan, Aceh jauh lebih stabil dan lebih baik. Peningkatan kesejahteraan masyarakat pasca otsus dan perhatian besar dunia internasional pasca tsunami menyebabkan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan lebih membaik. “Relatif mudah ditemukan benang kusutnya, tapi tidak mudah juga memperbaiki, tapi peta kekusutannya bisa dilihat,†kata Gaffar Karim.
Kendati demikian, persoalan lain yang muncul justru adanya tarik menarik pemeritah provinsi dengan dengan pemerintah kota/kabupaten terkait dengan pengelolaan dana sebesar 60 persen yang dikelola pemerintah provinsi. “Ada sisa anggaran cukup besar karena dana tidak terserap. Ada kecenderungan dan dukungan dari LSM bahwa gubernur mengelola keuangan lebih besar dibanding pemkab dan pemkot,†katanya.
Peningkatan kesejahteraan dan pemberian keluasaan kewenangan bidang keuangan serta transformasi politik yang dilakukan oleh partai lokal di Aceh secara tidak langsung menyebabkan tuntutan untuk merdeka dan memisahkan diri dari NKRI menjadi hilang dengan sendirinya. “Di semua elemen masyarakat, saat ini tidak ada lagi tuntutan untuk merdeka. Mereka percaya pada pijakan awal (Perjanjian) Helsinki dan UUPA (Undang-Undang Pemerintaha Aceh),†kata Bayu Dardia.
Lain halnya di Papua. Proses transformasi politik dan penguatan kelembagaan tidak berjalan dengan baik. “Di Papua ada identitas yang belum selesai. Di Aceh, otsus mengarah kesejahteraan, ada ruang dan bukti yang nyata. Sementara di Papua tidak signifikan. Dana yang sebegitu besar tidak bisa meningkatkan kesejahteraan,†katanya.
Cornelis Lay berpendapat jika ingin Papua sejahtera, cara pengelolaan kekuasaan harus terdesentralisasi dengan pola pikir yang asimetris melalui pemberian keluasan dan kedalaman kewenangan. Untuk mencapai model pengelolaan desentralisasi asimetris diperlukan tiga syarat ialah tingkat penerimaan politik, sistem regulasi yang terintegrasi, dan kapasitas daerah itu sendiri. (Humas UGM/Gusti Grehenson)