KULONPROGO – Namibia tertarik untuk menerapkan sistem pertanian dengan System of Rice Intensification (SRI) yang telah dikembangkan UGM sejak 2003 di Sleman dan Kulon Progo. Melalui SRI terbukti mampu meningkatkan produksi hasil pertanian. Dibandingkan dengan sistem konvensional, konsep tanam padi SRI menggunakan air yang jauh lebih sedikit, jarak tanam lebih lebar, dan hanya menggunakan bibit satu lubang untuk satu tanaman. “Rata-rata produksinya 10 ton per hektar, pernah 13 ton per hektar. Dibanding yang konvensional, hanya 5-6 ton per hektar,†kata Nuryanto (53), petani asal Desa Ngestiharjo, Wates, Kulon Progo, saat menerima kunjungan delegasi Namibia yang meninjau area persawahan hasil binaan Fakultas Pertanian UGM, Selasa (19/6).
Ketua Gabungan Petani Pemakai Air Desa Ngestiharjo ini mengakui penggunaan benih untuk padi SRI sangat sedikit dibandingkan dengan sistem konvensional. “Pengalaman saya, benih umumnya 5 kg per 100 meter persegi. Kalau SRI hanya butuh kurang dari 1 kg,†imbuhnya.
Dosen Fakultas Pertanian UGM sekaligus peneliti budidaya padi Sri, Dr. Ir. Benito Heru Purwanto, mengatakan pengembangan konsep tanam padi SRI sudah diterapkan sejak 2003 lalu dengan menggandeng ribuan petani. Awalnya, mengenalkan sistem budaya tanam padi SRI di kalangan petani tidaklah mudah. Petani terbiasa dengan sistem konvensional karena mereka lebih mudah mendapatkan pupuk, benih, dan sistem tanam secara instan. “Di sini mereka harus menggunakan pupuk organik dan menggunakan benih lebih sedikit,†ujarnya.
Namun, seiring dengan peningkatam produksi, konsep tanam padi SRI mulai bisa diterima oleh kalangan petanian. “Produksi padi meningkat hingga 3-5 ton per hektar dan lebih hemat air. Rata-rata satu hektar mereka bisa panen minimal 9-12 ton,†ujarnya.
Osmud Wandemele, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Universitas Namibia, mengatakan konsep padi SRI sangat potensial untuk diterapkan di negaranya. Terlebih lagi, Universitas Namibia telah bekerja sama dengan UGM sejak 2008 lalu untuk proyek pengembangan padi dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan. Bahkan, pihaknya sudah beberapa kali mendatangkan pakar dari UGM untuk datang ke Namibia. “Namibia memiliki sekitar 2,1 juta penduduk dan lebih dari setengahnya adalah petani. Kami bangga dan senang sekali kerja sama ini sudah berjalan dengan baik,†katanya.
Sebelum adanya kerja sama ini, Osmud Wandemele mengakui beras merupakan komoditas pangan yang sangat langka di Namibia. Bahkan, untuk mendapatkan beras, masyarakat harus membelinya dari negara tetangga, Angola. “Tidak bisa kalau makan tiga kali itu ada nasi. Biasanya nasi baru dihidangkan kalau ada acara pesta keluarga saja,†tuturnya.
Dr. Ir. Taryono, M.Sc., salah satu peneliti UGM yang beberapa kali diundang untuk mendampingi petani Namibia, menuturkan selain memperkenalkan cara bercocok tanam padi, ia juga memberikan bimbingan teknis pada para penyuluh pertanian. “Bahkan kita juga mempromosikan alat traktor buatan Indonesia. Saat ini sudah ada pesanan rutin puluhan hingga ratusan traktor ke sana,†katanya.
Delegasi Namibia yang didampingi oleh perwakilan KBRI Namibia, Toary Worang, juga mengunjungi beberapa lahan demplot SRI di Dusun Jering, Sidorejo, Godean, Sleman, dan Desa Ngestiharjo, Wates, Kulon Progo. Selanjutnya, dilakukan pula kunjungan ke sawah sistem surjan di Desa Pleret, Panjatan, Kulon Progo. (Humas UGM/Gusti Grehenson)