YOGYAKARTA – Sedikitnya lima ribu pengungsi asal Timur Tengah yang mencari suaka politik menjadikan Indonesia sebagai negara transit. Namun, tidak sedikit dari mereka harus ditahan petugas imigrasi karena datang tanpa dokumen resmi. Selama hidup di Indonesia, para pengungsi ini kurang mendapat perhatian dan perlakukan yang layak terkait dengan hak untuk mendapatkan pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. “Di rumah tahanan imigrasi, misalnya, petugas kita masih menganggap mereka bagian dari kriminal, tidak memperlakukan mereka dengan baik,†kata pemerhati HAM dari Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM, Drs. Dafri Agussalim, M.A., dalam seminar memperingati hari pengungsi sedunia di Fisipol UGM, Rabu (20/6).
Menurut Dafri, pengungsi seharusnya tidak diperlakukan layaknya pelaku kriminal. Terlebih lagi, tidak sedikit dari mereka adalah anak-anak yang masih di bawah umur. Seharusnya mereka mendapatkan tempat yang layak untuk tumbuh kembang dan pendidikan yang layak. “Perlu ada standar minimum. Jangan sampai penahanan ini karena pesanan dari negara tetangga yang ingin dituju para pengungsi ini,†tambahnya.
Dafri mengakui persoalan penanganan pengungsi asal Timur Tengah memang menimbulkan permasalahan tersendiri karena munculnya dampak sosial, politik, dan keamanan bagi masyarakat sekitar. Namun, seharusnya mereka juga mendapatkan perhatian dan perlakukan yang layak, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Ia mengusulkan Indonesia perlu meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dengan membuat landasan hukum yang kuat dalam memperlakukan pengungsi suaka politik.
Aktivis Jesuit Refugee Service, Lars Stenger, mengatakan ada sekitar lima ribu pengungsi yang mencari perlindungan internasional tersebar di berbagai daerah, seperti Lombok, Kupang, dan kota-kota besar di Indonesia. Rata-rata mereka mencari suaka politik ke Australia. “Di Indonesia, mereka bisa tinggal 1-3 tahun, bahkan ada yang sampai 7 tahun. Mereka dari Irak, Afganistan, Pakistan, dan negara Timur Tengah lainnya,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)