Konsep nuksma dan mungguh merupakan konsep dasar estetika wayang yang ideal. Artinya, nuksma dan mungguh menjadi pijakan bagi dalang dalam mempergelarkan wayang dan sebagai acuan bagi penonton dalam menghayati pertunjukkan wayang. Sebagai konsep dasar estetika wayang yang ideal, nuksma dan mungguh seyogyanya bisa dipahami para dalang maupun penonton. “Nuksma dan mungguh untuk para dalang semestinya bisa diimplementasikan dalam pertunjukkan wayang, sehingga menghasilkan pergelaran wayang yang bermutu,” ujar Sunardi, S.Sn., M.Sn, di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (25/6) saat melakukan ujian terbuka program doktor.
Menurut Sunardi, nuksma dan mungguh memiliki kaitan dengan kualitas dalang. Ketika pertunjukkan wayang mampu mencapai nuksma dan mungguh, berarti dalang memiliki kualitas yang ideal. Petunjuk mengenai kualitas dalang dapat dipahami berdasarkan kemampuan dalang menjiwakan pertunjukkan wayang dan adanya pengakuan penonton terhadap kualitas dalang. “Jika dicermati, dalang yang berkualitas adalah dalang yang mampu menjiwai dalam berbagai aspek pakelirannya. Dalang yang demikian tentu dapat dikatakan sebagai dalang paripurna,” papar dosen Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dalam ujiannya.
Sunardi berpendapat nuksma dan mungguh merupakan konsep estetika yang terkait pandangan budaya Jawa. Nuksma (merasuk) dapat dimaknai sebagai proses persatuan, yaitu menyatunya manusia dengan realitas transendental. Dalam pandangan budaya Jawa dikenal kosep nyawiji, yang berarti persatuan dengan Illahi. Adapun mungguh memiliki pengertian sesuai atau pantas, dapat dimaknai kepantasan dalam kehidupan. Konsep kemungguhan dalam budaya Jawa dikenal sebagai keselarasan yang menjadi cita-cita kehidupan manusia Jawa. “Nyawiji merupakan salah satu pandangan budaya Jawa yang terkait dengan laku spiritual asyarakat, yaitu untuk menyatakan persatuan antara manusia dengan Tuhan. Konsep ini seringkali dinyatakan dalam istilah lain dengan makna serupa, seperti manunggal atau manunggaling kawula gusti. Persatuan dengan Illahi maka manusia Jawa menemukan keselarasan dalam tata kehidupan,” tambah suami Katarina Indah Sulastuti, S.Sn., M.Sn.
Mempertahankan desertasi “Nuksma dan Mungguh: Estetika Pertunjukan Wayang Purwa Gaya Surakarta”, Sunardi menjelaskan nuksma merupakan cermin dari konsep nyawiji yang diejawantahkan melalui praktik pertunjukan pedalangan. Nuksma dan nyawiji memiliki makna yang sama yaitu menyatu.
Dalam nuksma, terjadi penyatuan antara realitas unsur garap pakeliran pada diri dalang. Bahwa antara dalang dan wayang merupakan satu kesatuan sehingga membentuk rasa estetik pertunjukan wayang yang hidup dan menjiwai. Sedangkan, kemungguhan dalam budaya Jawa memiliki makna kepantasan, kepatutan, atau kesesuaian dari segala tindakan manusia.
Karenanya kemungguhan menjadi ukuran ideal dalam tata laku sosial budaya masyarakat Jawa. Konsep ini seringkali disebut sebagai mungguh, unggah-ungguh, udanegara, trep ataupun pantas. Kemungguhan berorientasi pada etika masyarakat Jawa yakni kepatutan dalam tindakan mereka. Terkait dengan etika, maka kemungguhan menjadikan keharmonisan hubungan sosial manusia. Bahwa orang yang mampu menempatkan diri dan membawakan segala perilaku sosialnya secara pantas dan sesuai dengan norma-norma yang disepakati akan menciptakan pola keselarasan dan keharmonisan hubungan sosial diantara mereka. “Bagi masyarakat Jawa, kemungguhan menjadi kunci sukses bagi tata hubungan sosial yang harmonis,” papar Sunardi yang dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude dan menjadi doktor ke-1661 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)