YOGYAKARTA – Aktivitas riset di perguruan tinggi tidak sekadar bertujuan untuk mendapatkan produk yang dapat dipatenkan, tetapi menjadikan produk riset dapat dikomersialisasikan kepada pihak industri untuk kepentingan bisnis. Dengan begitu, diharapkan pembiayaan perguruan tinggi tidak lagi bergantung sepenuhnya pada dana pemerintah dan dana dari masyarakat. “Rata-rata kurang dari 1 persen produk riset perguruan tinggi Indonesia yang bisa dipatenkan. Sementara itu, tidak semuanya bisa dimanfaatkan untuk bisnis,†kata Direktur Eksekutif Lembaga Transfer Teknologi Washington State University, Amerika Serikat, Keith Jones, Ph.D., kepada wartawan usai menjadi pembicara dalam sebuah seminar di LPPM UGM, Selasa (26/6).
Jones menyebutkan di Washington University sekitar 11 persen dari seluruh hasil riset mendapat paten. Dari produk paten tersebut, lembaga transfer teknologi yang dipimpinnya menjembatani untuk menghubungkan dengan pihak ketiga. “Dari transfer teknologi ini, tiap tahun kita dapat 500 ribu dollar dari hasil paten yang telah digunakan untuk bisnis dan industri,†ujarnya.
Menurutnya, sebuah lembaga perguruan tinggi memang membutuhkan lembaga khusus yang melakukan komersialiasi hasil temuan riset untuk ditawarkan kepada pihak industri dan bisnis. “Karena itu, peneliti perlu mengubah pola pikir yang berorientasi bisnis, tidak sekadar ilmiah,†tambah Jones.
Lembaga yang mengurusi transfer teknologi ini bertugas mengelola hasil kekayaan intelektual untuk kepentingan bisnis dan industri sehingga universitas menjadi lebih relevan di tengah masyarakat. Perlindungan terhadap kekayaan intelektual ini terdiri atas pengurusan paten, perlindungan varietas, merek dagang, dan hak cipta. “Beberapa universitas di Indonesia saat ini tengah memulai menuju ke arah itu,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)