Banyak keunggulan yang dimiliki otograf untuk tindakan operasi. Di samping memiliki porositas interkonektif, otograf tidak menimbulkan masalah pasca dilakukan operasi bedah berat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sejak tahun 2007 hingga Mei 2011, SMF Bedah Orthopedi dan Traumatologi RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, telah melakukan 58 kali operasi dengan tindakan bone grafting menggunakan otograf.
Menurut dosen Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Eko Pujiyanto, meski memiliki keunggulan, bone grafting dengan otograf memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan di antaranya bagian donor yang diambil akan mengalami sakit, risiko infeksi tinggi, dan kehilangan darah. Selain itu, butuh penambahan waktu anestesi dan jaringan donor terbatas sehingga kebutuhan pasien sering tidak terpenuhi. “Beberapa kelemahan inilah yang mendorong saya mengembangkan scaffold sintetis sebagai pengganti otograf,” ujarnya di KPFT UGM, Kamis (28/6) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Dikatakan Eko Pujiyanto bahwa hidroksiapatit (HA) merupakan salah satu keramik yang paling banyak digunakan sebagai bahan dasar scaffold sintetis. Salah satu bahan yang dapat digunakan memproduksi HA adalah gipsum, dan Indonesia memiliki potensi gipsum lokal cukup besar. “Mengingat hal tersebut, perlu kiranya dilakukan pengembangan gipsum sebagai dasar bone graft sintesis yang berfungsi sebagai scaffold,” katanya saat mempertahankan disertasi Studi Pemanfaatan Gipsum Lokal sebagai Bahan Dasar Bone Graft Sintesis yang Berfungsi sebagai Scaffold.
Hasil penelitian menunjukkan pembuatan serbuk HAg dilakukan dengan cara mereaksikan gipsum dan diamonium hidrogen pospat. Sintesis gipsum menjadi HAg dengan hasil terbaik terjadi pada kondisi 20 gram serbuk gipsum direaksikan dengan 800 ml DHP 1 molar. Di samping mengurangi ketergantungan sebagian dasar pembuat bone graft sintesis yang berfungsi sebagai scaffold (scaffold sintesis), penggunaan gipsum lokal diharapkan meningkatkan daya saing bahan dasar bone graft sintesis yang berfungsi sebagai scaffold, sekaligus memenuhi permintaan pasar dalam negeri yang terus meningkat. “Tentu akan menghemat devisa karena selama ini kita masih impor. Juga dapat memberikan akses pelayanan kesehatan yang lebih luas pada pasien yang memerlukan bone grafting,” pungkas Eko yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Eko menjadi doktor ke-1662 yang diluluskan UGM, doktor ke-93 Fakultas Teknik, dan doktor ke-14 Jurusan Teknik Mesin, FT UGM. (Humas UGM/ Agung)