Indonesia memiliki banyak obyek wisata yang berbasis komunitas. Berbagai obyek wisata tersebut memberikan peluang bagi masyarakat lokal sebagai pelaku pariwisata sebagai pelaku pariwisata. Pengelolaan oleh masyarakat langsung diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, sayangnya pengelolaan pariwisata berbasi komunitas ini di sejumlah daerah terlihat kurang berhasil.
Menurut Drs. Argyo Dermatoto, M.Si., staf pengajar pada Fakultas ISIPOL Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) kurang berhasilnya pengelolaan pariwisata berbasis komunitas ini tidak terlepas dari karena rendahnya peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Selain itu minimnya peran perempuan dalam pengelolaan pariwisata juga menjadikan pengelolaan pariwisata berbasis komunitas kurang berhasil dlam memberdayakan masyarakat.
“Realita di masyarakat menunjukkan jumlah perempuan yang terlibat dalam pengelolaan berbsis komunitas jauh lebih sedikit dibanding laki-laki dengan peranan yang minim pula,†kata Argyo mengutip hasil penelitian yang dilakukan Widiyanto,dkk dalam ujian terbuka program doktor Sabtu, (30/6) di Fakultas ISIPOL UGM. Pada kesempatan itu ia memamparkan disertasi berjudul “ Pemberdayan Perempuan Dalam Pariwisata Berbasis Komunitas.
Argyo menyebutkan bahwa minimnya peran perempuan dalam pengelolaan pariwisata berbasis komunitas menunjukkan ketidaksiapan elemen perempuan untuk berkontribusi di dalamnya secara signifikan. Akibatnya perempuan kurang bisa menjalankan peran sebagai salah satu agen perubahan pengelolaan pariwisata ke arah yang lebih mensejahterakan khsusnya bagi perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan Argyo di tiga Desa Wisata Jawa Tengah, yaitu Desa Berjo, Kabupaten Karanganyar, desa Kliwonan Kabupaten Sragen, dan Desa Samiran Kabupaten Boyolali memperlihatkan bahwa rendahnya keterlibatan perempuan dalam pengelolaan pariwisata dikarenakan berbagai keterbatasan seperti rendahnya pengetahuan dan pengalaman, kurang fasilitas, dan modal. Selain itu juga masih adanya pemikiran bias gender dari pemerintah dan kurangnya keterlibatan pemerintah sebagai fasilitator. “Peran perempuan dalam pengembangan pariwisata di tiga desa tersebut masih sangat kurang. Perempuan belum terlibat sepenuhnya dalam seluruh aspek,†jelas pria kelahiran Metro, 25 Agustus 1965 ini.
Lebih lanjut disampaikan Argyo, perempuan di daerah tersebut hanya sebagai pelaksana atau pekerja. Hal ini menandakan bahwa distribusi keuntungan pariwisata berbasis komunitas belum merata. ‘Dengan memberdayakan perempuan maka akan meningkatkan keahlian mereka sehingga peran yang dijalankan tidak lagi menjadi pelaksana tetapi lebih sebagai inisiator danperencana, pengelola, serta evaluator,†paparnya.
Argyo mengatakan pemberdayaan masyarakat lokal, dalam hal ini perempuan menjadi sangat penting dalam upaya pengembangan pariwisata berbasis komunitas di tiga desa tersebut. Pemberdayaan mencakup membangun kemampuan perempuan, perubahan budaya dan kebijakan struktural yang memihak perempuan. Pemberdayaan membangun kemampuan perempuan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang pariwisata. Selanjutnya perubahan budaya yang memihak perempuan dilakukan dengan memberikan kepercayaan pada perempuan mengenai kesamaan haknya dengan laki-laki melalui seminar-seminar sehingga perempuan dapat terbebas dari perlakuan subordinat dalam masyarakat. Sementara kebijakan struktural yang memihak perempuan bisa ditempuh dengan membuat kebijakan yang melindungi karya-karya perempuan seperti batik.
“ Pemberdayaan perempuan dala pengelolaan pariwisata berbasis komunitas ini memberikan ruang yang sama bagi perempuan untuk bekerja dan menjalankan seluruh peran dalam bidang pariwisata, tanpa terbebani seluruh pekerjaan domestik,†pungkasnya.(Humas UGM/Ika)