Draf Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) terbaru versi 26 Juni 2012 dinilai masih memiliki watak liberalisme. Draf RUU PT tersebut meyakini bahwa keterbukaan, globalisasi, dan komersialisasi pendidikan memiliki peran penting dalam proses pembangunan bangsa.
Hastangka, staf peneliti Pusat Studi Pancasila (PSP), berpendapat bahwa draf tersebut masih menyimpan persoalan yang menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat, terutama pandangan kritis terkait dengan Pasal 51 Ayat 1 yang menyebut perguruan tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Massifnya tekanan asing, terutama investor, di bidang industri pendidikan tentu menjadikan Indonesia pangsa pasar empuk dan lahan bisnis baru di dunia pendidikan. Mereka dapat melebarkan sayap usaha dengan membuka lahan bisnis baru bernama perguruan tinggi dan meyakini bahwa lahan ini sangat menguntungkan. Jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar dan tenaga kerja yang murah serta biaya investasi yang murah menjadikan banyak investor asing mulai melirik Indonesia sebagai target investasi di dunia pendidikan.
“Apa yang dipersoalan di sini adalah pertama, atas dasar apa pasal ini dibuat? Kedua, untuk apa memberikan begitu banyak peluang pada orang asing dengan membiarkan mereka mendirikan perguruan tinggi di Negara Indonesia?,” ujar Hastangka di kampus UGM, Rabu (4/7).
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia semestinya berhak untuk menentukan nasib pendidikannya di tangan anak bangsa dan memperkuat perguruan tinggi nasional untuk berkompetisi di tingkat global. Menjadi aneh apabila kemudian ada pasal sisipan yang memberikan peluang pada orang asing berinvestasi dengan mengatasnamakan pendidikan. “Pasal ini jelas tidak menguntungkan dan berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan di dalam negeri,” katanya.
Disebutkan bahwa draf RUU PT versi baru terlalu mudah memberikan celah bagi proses perizinan. Perizinan cukup dengan wajib mengantongi izin menteri, dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia dan mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. “Jelas dalam ayat ini akan menyebabkan terbengkelainya perguruan tinggi nasional jika semua dosen dan tenaga kependidikan banyak diserap di perguruan tinggi asing Proses perizinan yang hanya dilakukan oleh Menteri tentu saja bisa diskriminatif dan berpihak pada orang asing untuk mempercepat proses perizinan karena menteri tidak ada kontrol dari lembaga terkait,” tambahnya.
Belum lagi proses pengkategorisasian rumpun ilmu pada Pasal 10 Ayat (2) yang menyebut rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas ilmu agama, ilmu humaniora, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu formal, dan ilmu terapan. Proses pengelompokan ini tentu tidak jelas dasar epistemologis dan ontologis, bahkan dikhawatirkan mengerdilkan watak ilmu yang berkembang dinamis. “Rumpun ini justru akan mengerdilkan karena dalam pengelompokannya tidak bisa digunakan secara komprehensif, misalnya Ilmu kesehatan, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu kesenian, ilmu pendidikan, yang jelas belum masuk dalam kategori tersebut. Ini menandakan pembuat UU tidak memahami bagaimana ilmu itu berproses, dan sejumlah pasal-pasal karet yang dapat menjerumuskan sistem pendidikan di dalam negeri sendiri,” tambah Hastangka.
Staf peneliti PSP lainnya, Hendro Muhaimin, mengatakan RUU PT versi terbaru memperlihatkan upaya-upaya pemindahan tanggung jawab negara atas pendidikan kepada masyarakat, terutama dalam hal pendanaan dan pembiayaan, misalnya pada Pasal 69 yang menyebutkan wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi (Ayat 3e). Ayat ini mengandung arti perguruan tinggi berhak untuk melakukan praktik komersialisasi, misalnya fasilitas kampus. Hal ini tentu berakibat aset-aset yang dimiliki universitas akan bebas dipakai oleh pihak nonkampus. “Dengan ketentuan harga bebas, maka siapa yang bisa bayar mahal pasti akan diutamakan. Artinya dengan harga mahal otomatis tidak bisa terjangkau mahasiswanya sendiri yang tercatat sebagai warga kampus sehingga mahasiswa harus mengalah pada pihak luar,” ujarnya. (Humas UGM/ Agung)