YOGYAKARTA-Keberadaan peta khusus seperti peta taktual yang menggunakan huruf Braille (timbul) bagi penyandang tunanetra selama ini belum banyak dimanfaatkan. Padahal keberadaan peta taktual ini sangat dibutuhkan bagi penyandang tunanetra. Kalaupun ada peta bagi penyandang tunanetra sifatnya masih umum dan belum detail.
Hal inilah yang kemudian menarik minat lima mahasiswa dari Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM untuk mensosialisasikan dan mengembangkan peta taktual yang sebelumnya telah dibuat kakak angkatan mereka, Ika Noormuslichah.
Kelima mahasiswa mahasiswa tersebut, yaitu Lintang Galih Sukma, Fedhi Astuti Hartoyo, Erna Noor Indah Sari, Sigit Nur Iman Wibowo dan Imron Rosyadi. Kelima mahasiswa ini mengembangkan ide dan gagasannya melalui Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM)-M untuk bidang pengabdian masyarakat
“Peta taktual kota Yogyakarta yang sudah ada ini kita bantu sosialisasikan kepada penyandang tunanetra karena selama ini kebanyakan mereka selalu ditemani ketika beraktifitas atau bepergian,â€papar Lintang, Rabu (4/7).
Lintang menuturkan peta taktual yang ada ini merupakan peta kota Yogyakarta. Ide awal pengembangan serta pemanfaatan peta taktual ini yaitu kebutuhan penyandang tunanetra dalam bernavigasi sehingga membutuhkan pemahaman spasial yang bagus.
Langkah yang telah mereka lakukan adalah pengenalan dan membantu penyandang tunanetra terkait masalah spasial, seperti posisi dimana mereka berada dan akan kemana mereka akan pergi melalui peta taktual.
“Dengan keterbatasan indera penglihatan kita coba membantu menguatkan fungsi pendengaran dan ingatan mereka,â€kata Lintang.
Sosialisasi peta taktual telah dilakukan dan diujicobakan kepada sepuluh penyandang tunanetra yang tergabung dalam anggota PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) Cabang Sleman. Peta taktual tersebut lebih detail berisi informasi tentang kota Yogyakarta.
“Kalau yang lain petanya lebih umum, seperti peta Pulau Jawa atau peta Indonesia. Sedangkan yang ini detail misalnya mana Malioboro atau Tugu dll,â€papar mahasiswa Fakultas Geografi angkatan 2008 itu.
Uji coba peta ini telah dilakukan selama tiga bulan. Hasilnya, banyak testimoni dari para penyandang cacat tersebut yang cukup terbantu dengan adanya peta taktual tersebut.
Blind Sonar
Selain peta taktual, ada lagi blind sonar sebagai alat bantu berjalan bagi penyandang tunanetra. Blind sonar ini dikembangkan oleh empat mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UGM. Ke lima mahasiswa tersebut, yaitu Apri Setiawan, Indra Darmawan Budi, Sugiarto, dan Anam Bahrul Ulum.N.
Alat yang dikembangkan ini cukup sederhana, lebih ramping dibandingkan tongkat, serta praktis. Menurut Apri prinsip kerja blind sonar ini adalah membantu penyandang tunanetra dalam beraktifitas khususnya ketika berjalan.
“Prinsipnya membantu berjalan karena alat ini dilengkapi sensor. Sensor akan bergetar ketika dekat dengan barang atau orang dalam jarak sekitar satu meter,â€kata Apri.
Alat yang dikembangkan melalui Program Kreatifitas Mahasiswa untuk bidang pengabdian masyarakat ini lebih safety dibandingkan tongkat yang biasa digunakan penyandang tunanetra. Selain itu alat ini bisa pula didesain dalam bentuk yang lebih sederhana seperti bentuk handphone.
“Tidak ribet mas. Ke depan pengembangannya bisa lebih sederhana dan praktis seperti handphone misalnya,â€urai mahasiswa Teknik Elektro angkatan 2008 itu.
Blind sonar ini, kata Apri, terdiri dari beberapa elemen seperti sensor ultrasonik, baterai, mikroprosesor, motor getar, dan alat charger baterai. Alat yang ditaksir menelan biaya sekitar dua juta ini jika diproduksi massal bisa ditekan dengan harga yang lebih terjangkau.
Seperti halnya peta taktual, blind sonar juga telah diujicobakan dengan beberapa penyandang tunanetra yang tergabung di Yayasan Mardi Wuto RS Mata dr. Yap. Mereka juga mengaku terbantu dengan adanya blind sonar itu (Humas UGM/Satria AN)