Dukungan sosial yang tepat pada penyandang cacat korban bencana terbukti mampu meningkatkan kemampuan penderita dalam menghadapi masalah (koping) religius islami yang lebih baik. Dengan menerapkan koping religius islami ini pada korban bencana yang selamat(penyitas) yang mengalami kecacatan dapat mengalami pertumbuhan pasca trauma.
Hal tersebut disampaikan Siti Urbayatun, S.Psi., M.Si., saat melaksanakan ujian terbuka program doktor, Senin (9/7) di Auditorium Fakultas Psikologi UGM. Dalam kesempatan tersebut Siti mempertahankan disertasi berjudul “ Peran dukungan Sosial, Koping Religius-Islami dan Stres Terhadap Pertumbuhan Pasca Traumaâ€.
Siti menyebutkan bahwa model dukungan sosial menjadi moderator antara stres dengan koping dan koping menjadi mediator stres dengan pertumbuhan pasca trauma merupakan model yang dinilai lebih baik dibanding model dukungan sosial menjadi moderator stres dengan penyandang cacat atau menjadi moderator hubungan dua jalur sekaligus. Dua jalur tersebut adalah saat menjadi moderator antara stres dengan koping religius islami dan antara koping religius islami dengan pertumbuhan pasca trauma.
Dari hasil penelitian staf pengajar pada Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang dilakukan pada penyitas gempa Bantul 2006 ditemukan model pertumbuhan pasca trauma spesifik yang fit. Model tersebut merupakan model interaksi antara stres penghasilan dengan dukungan aktivitas, model interaksi antara stres penghasilan dengan dukungan sarana, serta model interaksi antara stres mobilitas dengan dukungan aktivitas. “ Usia, pendidikan, lama pernikahan, dan keparahan juga ikut berperan terhadap pertumbuhan pasca trauma. Sementara untuk gender, pekerjaan, penghasilan, dan status pernikahan tidak terlihat berperan terhadap pertumbuhan pasca trauma,†papar wanita kelahiran Bantul, 21 Maret 1967 ini.
Lebih lanjut diungkapkan Siti, keikhlasan dengan menerima kecacatan sebagai sebuah takdir pada penyitas gempa yang mengalami cacat fisik juga turut mempengaruhi pertumbuhan pasca trauma. Disamping hal tersebut, adanya dukungan dari sesama penderita cacat, bertukar pikiran dengan kawan, serta beraktifitas di lingkungan sekitar dapat membantu pertumbuhan pasca trauma. “Sementara subyek yang menghadapi masalah dengan berdiam diri, bergantung pada orang lain, dan menunjukkan perasaan negative memiliki kecenderungan pertumbuhan pasca trauma yang rendah,†terangnya.
Siti menyampaikan untuk pertumbuhan pasca trauma penyandang cacat fisik di Bantul mayoritas berada dalam kategori sedang. Meskipun demikian, masih ada yang termasuk dalam kategori rendah dan sangat rendah sehingga perlu perhatian dari pemerintah, keluarga, dan masyarakat secara umum. Sementara , stres yang dialami penyandang cacat fisik termasuk dalam kategori sedang ,walaupun ada jumlah kecil dalam kategori stres tinggi dan sangat tinggi. “ Hasil lain menunjukkan bahwa subyek yang mampu tumbuh pasca trauma secara optimal masih sedikit sehingga pelu perhatian dari lembaga pemerintah dan pihak lain yang berwenang,†pungkasnya. (Humas UGM/Ika)