YOGYAKARTA – Pernah mendengar ungkapan ‘Tong kosong berbunyi nyaring’, ‘Nasibnya seperti di ujung tanduk’, ‘Utang emas boleh dibayar, utang budi dibawa mati’, atau kata-kata ‘si whistle blower’, ‘ban serep’, ‘dijadikan ATM’, ‘jeruk makan jeruk’, dan sebagainya? Semua itu dinamakan idiom. Idiom memiliki makna yang khas. Tidak selalu mudah menangkap makna yang terkandung dalam suatu idiom, lebih-lebih untuk idiom baru yang tergolong asing.
Idiom merupakan perpaduan dua kata atau lebih, tetapi maknanya tidak secara langsung dapat ditelusuri dari makna masing-masing kata. Idiom dapat berbentuk frasa, klausa, dan kalimat. Saat ini idiom memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi, baik dalam bahasa lisan maupun tulis. Apalagi idiom yang muncul dalam pemberitaan di media dan di situs jejaring sosial.
Masyarakat gemar menggunakan idiom dalam berbahasa, antara lain, karena pemakaian idiom dianggap dapat memperindah bahasa. “Kebanyakan tujuannya untuk memperindah ekspresi dalam berbahasa. Selain untuk memperindah ekpresi berbahasa, idiom sering digunakan untuk menyindir atau mengejek, bahkan juga memberi nasihat,†kata Drs. Muhammad Suyatno, M.Hum. dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Senin (9/7). Bertindak selaku promotor Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo dan Ko-Promotor Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S. U., M.A.
Menurut Suyatno, idiom berhubungan erat dengan budaya masyarakat pemakai bahasa. Pemakaian idiom menunjukkan adanya keterkaitan atau hubungan dengan budaya tertentu. “Idiom yang berhubungan dengan budaya olahraga, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, hukum dan pemerintahan, dewasa ini cenderung semakin berkembang,†katanya.
Disebutkan bahwa terdapat lima hal yang memengaruhi perkembangan idiom, pertama, bahasa dan budaya daerah. Kedua, bahasa dan budaya asing. Ketiga, situasi dan kondisi yang dialami masyarakat. Keempat, ciri khas atau identitas yang menonjol, dan kelima, kebiasaan bersenda gurau.
Beberapa idiom baru yang menurut Suyatno kerap digunakan, misalnya wong cilik , kawah candradimuka, dapur ngebul, orang gedongan, peniup peluit whistle blower, orang berdasi, copy paste, deadline, ban serep, dijadikan ATM, jeruk makan jeruk, dan sebagainya.
Menurut Suyatno, munculnya idiom-idiom baru seharusnya perlu dilakukan pencatatan dalam bentuk kamus khusus idiom, khususnya idiom yang sudah banyak digunakan dalam bahasa Indonesia, tetapi belum terdaftar di dalam kamus. Namun, idiom yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat perlu juga dikaji dan dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam pembaharuan kamus agar pemakai bahasa memperoleh sumber referensi untuk memahami pemakaian dan makna idiom. (Humas UGM/Gusti Grehenson)