Jumlah kasus-kasus perilaku agresif anak semakin hari semakin meningkat. Seiring hal itu, meningkat pula minat untuk mengembangkan dan mendalami pemahaman tentang bagaimana dan mengapa perilaku agresif dilakukan anak. Disamping berkontribusi secara akademik terhadap pengembangan pengetahuan, penelitian terhadap kasus-kasus peristiwa agresif anak mendorong penanganan bersifat praktis tentang bagaimana perilaku agresif dapat dikendalikan dan diminimalkan.
Menurut I Gusti AA Noviekayati, banyaknya peristiwa agresif di sekitar anak dikhawatirkan berkembang menjadi model bagi anak lain untuk melakukan perilaku yang sama. Sebab perilaku agresif masa dewasa dikarenakan mereka berada atau dekat dengan lingkungan agresif sejak masa anak-anak. Dalam hal ini lingkungan agresif menjadi model yang cenderung diimitasi maupun dipahami sebagai sebuah tindakan yang permisif. “Perkembangan lebih lanjut, perilaku agresif tidak berhenti pada satu tahap tertentu, namun mengikuti terus sampai anak menjadi dewasa,” tuturnya saat mempertahankan desertasi “Perilaku Agresif Anak Ditinjau Dari Persepsi Agresif, Self Anak dan Jenis Kelamin”.
Dalam kerangka teori dikatakan perilaku agresi anak terbentuk dari proses berpikir terhadap situasi yang dihadapi (faktor individu), model yang diamati serta kedekatan anak dengan obyek peristiwa agresif (faktor lingkungan). Dengan kerangka teori ini kapasitas internal menjadi penting, kapasitas internal ini disebut self, persepsi dan jenis kelamin.
Menjalani ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Psikologi UGM, selasa 910/7), Gusti Noviekayati menerangkan pembentukan self berkaitan dengan lingkungan. Sebagai contoh peristiwa bullying, dimana anak sering mengalami dan merasa dirinya tidak berguna sehingga self yang terbentuk menjadi buruk. Self yang buruk ini dapat berupa sikap tidak memiliki rasa percaya diri, tidak mampu menampilkan diri seperti yang diinginkan dan tidak memiliki kebanggaan atas diri. “Self yang buruk membuat anak tidak dapat mengembangkan diri secara maksimal, akibatnya anak menarik diri atau berperilaku agresif untuk dapat mempertahankan eksistensinya,” terang Gusti Noviekayati.
Gusti menambahkan paparan peristiwa agresif pada anak dapat mendorong anak berperilaku agresif. Disebutkan anak-anak yang menyaksikan peristiwa-peristiwa agresif di dalam rumah, selain berpeluang menjadi pelaku tindak agresif, dapat pula mengalami gangguan sosial dan emosional. Terlebih peristiwa agresif yang disaksikan anak melalui tayangan televisi, memberikan sumbangan cukup signifikan pada pembentukan perilaku agresif anak.
Dari hasil penelitian di SDN Bubutan, SDN Pacar Keling, SDN Kaliasin, SDN Menur Pumpungan, SDN Mojo VI dan SDN Klampis Ngasem I pada siswa kelas 4,5 dan 6 dengan rentang usia 10-12 tahun, Gusti Noviekayati berkesimpulan anak usia 10-12 tahun sudah mampu menilai lingkungannya dengan baik. Artinya peristiwa agresif yang ada di sekitar anak akan diserap dan diseleksi, jika peristiwa agresi tersebut sesuai dengan kapasitas anak maka akan dimunculkan bentuk perilaku agresif. “kesimpulan lain, paparan peristiwa agresif dapat membentuk self yang buruk, semakin sering anak terpapar peristiwa agresif maka akan semakin buruk self yang terbentuk,” papar Gusti Noviekayati, staf pengajar Universitas Tujuh Belas Agustus, Surabaya. (Humas UGM/ Agung)