Pertanian organik di Indonesia semakin berkembang seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pola hidup sehat. Begitu pula dengan pertanian padi organik. Belum lama, pemerintah Indonesia mendorong para petani untuk mengembangkan padi organik. Para petanipun tidak sedikit yang mulai beralih pada pertanian padi organik ini. Meskipun begitu, pengembangan pertanian organik tidak bisa dilakukan di semua lahan pertanian.
“Lahan yang akan digunakan harus terkonsentrasi pada satu area yang jelas batas-batasnya dengan pertanian konvensional,†jelas Ketua Pusat Kajian Pertanian Organik Fakultas Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Didik Indradewa, Dip.Agr.St. , Kamis (12/7) dalam workshop Temu Tani, Trader dan Lembaga Sertifikasi Pertanian Organik di Fakultas Pertanian UGM.
Dalam kesempatan tersebut turut hadir, sejumlah petani dari kelompok tani dari Sragen, Magelang, dan Imogiri serta sejumlah pejabat dari instansi pemerintah di bidang pertanian organik. Penyelenggaraan workshop ditujukan sebagai ajang
Menurut Didik, hingga saat ini kebanyakan petani masih menanam padi organik berdampingan dengan pertanian konvensional dengan lokasiyang terpencar-pencar. Padahal seharusnya pertanian padi organik dilakukan pada satu blok area yang jelas batasnya dengan pertanian konvensional. Hal tersebut ditujukan untuk menekan terjadinya kontaminasi bahan-bahan kimia baik dari air irigasi maupun angin.
“Kalau masih belum terkonsentrasi pada satu area masih bisa terkontaminasi saat dilakukan penyemprotan insektisida pada pertanian konvensional,†kata Didik mencontohkan.
Batas-batas pemisah dapat berupa jalan/galengan dan parit. Bahkan tanamanpun bisa dimanfaatkan untuk pembatas lahan pertanian organik dengan pertanian konvensional. bisa memanfaatkan tanaman. “Harus ada pembatas agar tidak terpapar pestisida, seperti menanam tanaman tinggi disekeliling area pertanian organic,†ujarnya
Didik menyebutkan untuk pertanian organik, tak hanya lahan yang harus terbebas dari bahan kimia, air yang digunakan pun harus netral tidak tercemar bahan kimia. Guna mencegah kontaminasi melalui air, dengan melakukan pemisahan aliran irigasi dengan pertanian konvensional . Apabila irigasinya masih menyatu masih dimungkinkan tercemar nitrat yang berasal dari pupuk urea yang tercecer. “Kebanyakan irigasinya masih menyatu sehingga kemungkinan terjadi kontaminasi masih ada. Sebaiknya dibuat penampungan/kolam untuk memurnikan air terlebih dulu. Bisa dimurnikan dengan arang atau enceng gondok untuk menyerap logam beratnya,†terangnya.
Ditambahkan Didik, kebanyakan petani padi organik tak hanya menemui kendala pada persoalan lahan dan irigasi yang belum terpisah. Disamping itu, administrasi yang rumit juga menyulitkan petani untuk mendapatkan sertifikasi produk padi mereka. Ditambah lagi belum adanya penjamian integritas organik dari hulu ke hilir dan lemahnya pemasaran.
Pengembangan padi organik telah dilakukan di sejumlah daerah Indoensia. Sebagai salah satu contoh Kabupaten Sragen kebnayakan petaninya telah mulai beralih ke pertanian organic. Sebut saja di Kecamatan Sambungmacan, hampir dua pertiga areal persawahan telah digunakan sebagai pertanian padi organik. Namun begitu, petani di daerah tersebut kebanyakan masih terkendala pada persoalan irigasi.
Ketua Kelompok Tani Mulyo, Kecamatan Sambungmacan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Cipto Sudarno mengungkapkan bahwa dalam mengembangkan pertanian padi organik sistem irigasi masih belum terpisah dengan pertanian konvensional. Alhasil sistem pertanian yang mereka kembangkan pun tidak murni organik, tetapi semi organik karena sistem pengairannya yang masih menyatu dengan pertanian konvensional.
“ Sebenarnya semua perlakuan sudah seperti pertanian organik, hanya saja irigasinya masih jadi satu dengan pertanian konvensional. Hal ini yang akhirnya menjadikan padi kami tidak lolos sertifikasi sebagai padi organik,†ungkapnya.
Untuk itu ia berharap, pemerintah bisa membuatkan saluran irigasi yang terpisah dengan pertanian konvensional agar dihasilkan padi organik. (Humas UGM/Ika)