YOGYAKARTA – Profesi hakim merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus maupun intelektual. Profesi ini menuntut pengetahuan dan tanggungjawab yang sangat besar untuk kepentingan orang banyak dan tempat bagi para pencari keadilan yang mengharap kepastian hukum. Namun belakangan ini, masyarakat tengah menyoroti cara dan hasil kinerja hakim, moral hakim, dan perilaku tercela yang menurunkan citra profesi hakim.
“Perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan tapi juga menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap putusan pengadilan,†kata Hakim Mahkamah Agung (MA), Drs. Sirajuddin Silellah, S.H., M.HI dalam ujian promosi program doktor ilmu filsafat yang berlangsung di University Club, Senin (16/7). Bertindak selaku promotor Prof. Dr. R. Soejadi, SH., dan Ko-promotor Prof. Dr. Joko Siswanto.
Dalam penelitian disertasinya yang berjudul ‘Pengawasan Hakim dalam Perspektif Filsafat Pancasila dan Ilmplementasinya dalam Lembaga Peradilan Indonesia’, Sirajuddin mengatakan ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan sebagian disebabkan kenyataan bahwa keputusan hakim sering dianggap tidak adil, kontroversial, bahkan tidak dapat dieksekusi secara hukum. “Keadaan ini menuntut hakim harus sungguh-sungguh memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil dan profesional untuk membangun kepercayaan masyarakat,†ujar pria kelahiran Sungguminasa, Gowa, Sulsel 13 Januari 1968.
Menurutnya, Pancasila sebagai sistem filsafat bangsa memiliki hubungan esensial dengan pengawasan hakim. Nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila telah merumuskan idealitas yang mendasari pengawasan hakim di Indonesia. Oleh karena itu, setiap hakim harus mampu menunjukkan keluhuran budi dan tingkah laku yang tercermin pada nilai-nilai luhur Pancasila. “Hakim harus memegang teguh kemandiriannya, bersikap obyektif meski banyak tekanan psikologis dan intervensi,†katanya.
Ketua Mahkamah Agung (MA), Hatta Ali, selaku penguji dalam ujian doktor tersebut sepakat bahwa para hakim harus belajar filsafat sebagai sumber dari segala ilmu, termasuk ilmu hukum. Dengan belajar filsafat, lebih menjadikan hakim mampu mengambil keputusan secara benar dan maksimal.
Namun yang tidak kalah penting, para hakim juga harus menjaga independensi dalam mengambil keputusan. “Sekarang ini muncul UU yang mengebiri independensi hakim. Seharusnya semua (elemen) bangsa melawan. Itu merugikan rakyat dan pencari keadilan. Padahal dalam konstitusi kita, independensi hakim harus dijaga. Tidak mudah dintervensi,†katanya.
Hatta Ali menyebutkan saat ini ada sekitar 7.000 hakim. Sampai saat ini dia masih yakin bahwa sebagian besar hakim tersebut tetap menjaga independensinya. “Saya melihat masih independensi,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)