YOGYAKARTA-Proses integrasi kerentanan dalam rencana tata ruang berbasis informasi kegempaan merupakan suatu proses yang panjang dan membutuhkan banyak upaya menyeluruh. Dukungan politis yang kuat dan keterlibatan aktif masyarakat merupakan dua kunci utama terselenggaranya rencana tata ruang berbasis informasi bencana (kegempaan dalam hal ini) yang efektif dan efisien di Indonesia. Dukungan politis yang kuat terdapat dalam integrasi strategis, teknis dan substantif, sementara itu keterlibatan masyarakat harus mewarnai integrasi prosedural. Oleh karena itu, tantangan di masa mendatang adalah untuk memperkuat komunikasi dua arah antara pemangku kepentingan dan masyarakat untuk memperkuat proses integrasi.
“Selain itu dengan meningkatkan pemanfaatan kualitas input data sehingga hasil yang diperoleh lebih bermakna untuk mengurangi potensi GIGO (Garbage in garbage out) dan mengembangkan metode integrasi di tataran praksis agar lebih dikenal dan diketahui oleh banyak pihak,â€kata Dyah Rahmawati Hizbaron pada ujian promosi doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (16/7). Pada kesempatan tersebut Rahmawati mempertahankan disertasinya yang berjudul Integration of Vulnerability Assessment Into Seismic Based Spatial Plan in Bantul Yogyakarta, Indonesia.
Rahmawati menjelaskan lokasi penelitian yang dilakukannya fokus pada enam kecamatan di wilayah Kabupaten Bantul, yaitu Banguntapan, Sedayu, Sewon, Pleret, Jetis, dan Kasihan. Propinsi DIY dan Bantul menjadi pertimbangan penting pengembangan pembelajaran sistem manajemen bencana, mengingat kedua wilayah inilah yang pertama kali memberikan tanggapan positif terhadap mandat nasional pasca terjadinya bencana gempa 2006 yang lalu.
Dari hasil pengamatan dan pengalaman di lapangan, penelitian yang dilakukannya menemukenali empat metode integrasi pengurangan resiko bencana ke dalam rencana tata ruang, yaitu integrasi stategis, teknis, substantif dan prosedural.
“Konsep kerentanan yang tepat diintegrasikan untuk rencana tata ruang adalah konsep kerentanan dari sudut pandang ilmu terapan, dengan tanpa mengurangi arti penting konsep keilmuwan lainnya. Konsep ini berakar pada aspek geografis, lingkungan dan perencanaan,â€kata perempuan kelahiran Yogyakarta, 20 April 1980 ini.
Dalam disertasinya Rahmawati menyebutkan bahwa pendekatan kompleks wilayah menjadi penting dalam hal ini karena tingkat kerentanan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terkait dengan batasan ruang dan waktu seperti halnya rencana tata ruang. Untuk mengakomodir konsep ini, maka penelitian ini mempromosikan metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) untuk menghitung kerentanan.
“Metode ini diharapkan mampu mengkombinasikan metode sistem informasi geografis (Geographic Information System) dan penginderaan jauh (Remote Sensing) serta mengedepankan metode multi kriteria untuk mengakomodir varian data yang beragam,â€kata staf pengajar Fakultas Geografi UGM tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukannya juga berhasil membuat enam skenario perhitungan kerentanan dengan hasil yang konsisten, yaitu sebagian kecamatan Sewon dan Banguntapan sebagai wilayah paling rentan secara sosial ekonomi dan demografis dibanding wilayah lain. Penelitian ini juga mendetailkan pengamatan kerentanan fisik pada bangunan di kedua kecamatan, dan menghasilkan sebaran bahwa bagian tengah kecamatan Sewon dan bagian timur kecamatan Banguntapan sebagai wilayah dengan tingkat kerentanan fisik yang paling tinggi.
“Selain mempromosikan model baru penyusunan tata ruang terintegrasi dengan metode SMCE sekaligus memberi wacana pemanfaatan teknologi, data dan aplikasi sistem dalam praktik perencanaan,â€pungkas Rahmawati yang lulus cum laude pada ujian itu (Humas UGM/Satria AN)