Fenomena siswa gagal ujian nasional mata pelajaran bahasa Indonesia di tahun 2010 memperlihatkan rendahnya pemahaman membaca pada anak-anak Indonesia. Studi Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) memperlihatkan minat membaca siswa SD Indonesia termasuk kategori rendah. Studi PIRLS tahun 2006 memperlihatkan posisi Indonesia di nomor 41 dari 45 negara.
Demikian pula hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) menempatkan siswa Indonesia pada posisi 48 dari 56 negara di dunia di tahun yang sama dengan skor rata-rata 393. Minat baca rendah inipun terulang di tahun 2009, hasil penelitian PISA menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di nomor 57 dari 65 negara dunia, dengan skor rata-rata 402 sementara rerata internasional 500.
Menurut Rifa Hidayah, rendahnya pemahaman membaca pada anak-anak terutama anak-anak kelas 5 SD terkait motivasi dan metakognisi membaca yang rendah. Rendahnya motivasi ini bahkan telah menyebabkan lebih rendahnya kemampuan membaca anak-anak kelas 5 SD dibandingkan anak-anak kelas 4 SD.
Rifa menunjuk lingkungan sosial sekolah yang tidak kondusif turut menjadi faktor penyebab rendahnya pemahaman membaca pada anak-anak. Diantaranya dukungan guru dan lingkungan literasi di sekolah yang kurang mendukung, serta berbagai sarana prasarana membaca di sekolah yang kurang memadai. “Demikian juga kurang kondusifnya lingkungan sosial di rumah,” ujar Rifa Hidayah di Auditorium Fakultas Psikologi UGM, Selasa (17/7) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang mengungkap kurangnya keterlibatan orang tua dalam proses belajar maupun pada aktivitas membaca membuat rendah pemahaman membaca pada anak-anak. Padahal keterlibatan orang tua dalam mendampingi anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa anak. “Keterlibatan orang tua dan lingkungan literasi di rumah sangat berpengaruh, sebab membaca merupakan praktek budaya dan dipengaruhi lingkungan sosial. Bagaimanapun membaca bukan hanya aktivitas kognitif, psikolinguistik, tetapi juga aktivitas interaksi sosial individu antara pembaca dan teks,” ungkap perempuan kelahiran Ponorogo, 28 November 1976.
Bagi Rifa Hidayah menciptakan lingkungan literasi di rumah dan sekolah yang menyenangkan bisa menjadi alternatif yang dilakukan guru dan orang tua dalam memunculkan motivasi membaca pada anak-anak. Bila perlu memberikan pujian atas usaha yang dilakukan anak-anak, sebab pujian akan membuat keyakinan anak mampu membaca menjadi positif sehingga semangat untuk membaca menjadi kuat. “Semangat inilah yang memunculkan motivasi membaca secara internal. Hal ini berarti individu yang senang membaca akan membaca lebih banyak,” terangnya.
Hasil penelitian Rifa Hidayah memperlihatkan lingkungan sosial berpengaruh paling kuat terhadap pemahaman membaca adalah lingkungan literasi di rumah (22,2 %), dan keterlibatan orang tua dan lingkungan literasi di sekolah lebih rendah (4,4%). Sementara faktor kognitif metakognisi memiliki pengaruh yang tinggi (11,2%) dan motivasi membaca (4,9%). “Kuatnya potensi lingkungan literasi di rumah yang memprediksi pemahaman membaca pada anak dapatlah dipahami, karena lingkungan rumah adalah lingkungan yang paling akrab dan dekat dengan anak. Anak lebih banyak berinteraksi di rumah bersama keluarga dibandingkan interaksi di sekolah,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)