Tingginya angka cerai gugat dibanding cerai talak mengisyaratkan terjadi persoalan dalam hubungan perkawinan. Perkawinan yang diharapkan membentuk keluarga tenteram, penuh cinta dan kasih sayang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan pihak istri. Kondisi tersebut, menurut Asniar Khumas menyitir pendapat Hackstaff (1999) mengakibatkan perceraian menjadi bagian dari budaya yang diyakini dan dipraktekkan keluarga-keluarga di Amerika Serikat. Mereka mendefinisikan budaya perceraian sebagai keyakinan bahwa perkawinan adalah pilihan dan perceraian adalah jalan keluar.
Asniar Khumas, dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar berpandangan ada dua kondisi yang mencerminkan perjalanan perkawinan pasangan suami istri. Pertama, perkawinan tetap bertahan karena hal-hal yang menyenangkan yang menjadi dasar perkawinan, baik bersifat fisik maupun psikis. Kedua, perjalanan perkawinan berakhir pada perceraian karena hilangnya daya tarik positif perkawinan. Bahwa relasi yang terjalin dalam perkawinan membawa penderitaan atau sikap negatif terhadap perkawinan. “Beberapa kasus memperlihatkan istri mengalami kekerasan fisik, verbal dan seksual dalam rumah tangga, kurang tanggungjawab, istri dan anak tidak dinafkahi, suami berselingkuh atau melakukan poligami,” terangnya di Auditorium Fakultas Psikologi UGM, Senin (17/7).
Menempuh ujian terbuka program doktor Fakultas psikologi UGM, Asniar Khumas menyatakan disamping daya tarik utama, terdapat daya tarik lain yang mempengaruhi perceraian yaitu daya tarik alternatif, berupa alternatif kehidupan lebih baik setelah bercerai. Daya alternatif ini mencakup menikah kembali dengan pasangan yang berbeda, membentuk sebuah hubungan yang lebih informal dengan pasangan lain, atau tetap sendiri dan berkomitmen untuk tidak menikah. “Dalam pandangan teori perilaku, daya tarik alternatif inilah yang menjadi salah satu alasan bercerai perempuan sebagai faktor kontrol terhadap perilaku, sehingga sangat berkaitan dengan keyakinan mudah atau tidaknya perceraian diwujudkan,” ungkap Asniar, pria kelahiran Parepare 20 Agustus 1972.
Mempertahankan disertasi “Model Penjelasan Intensi Cerai Perempuan”, Asniar mengungkapkan intensi seseorang dapat berubah setiap waktu. Begitu pula niat istri untuk bercerai bisa berubah karena faktor-faktor tertentu yang dapat mengubah intensinya. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan Asniar menjelaskan bangunan sebuah model yang didasari teori pertukaran sosial, teori perilaku terencana dan model perceraian dari Amato dan Rogers. “Tujuannya menguji model eksplanatori intesi cerai berdasar teori pertukaran sosial, teori perilaku terencana dan model perceraian dari Amato dan Rogers untuk mengetahui prediktor-prediktor intensi cerai, baik yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung,” imbuhnya.
Berdasar hasil analisis data penelitian terhadap 197 subjek disimpulkan model penjelasan intensi cerai perempuan dipengaruhi daya tarik negatif hubungan perkawinan, yaitu mengalami kekerasan dalam rumah tangga, suami tidak bertanggungjawab dan menghadapi kenyataan suami tidak setia. Intensi bercerai tersebut diiring oleh keyakinan kuat akan mendapat pasangan baru apabila bercerai. Faktor ajaran agama yang menyatakan bahwa perceraian akan menjauhkan dari surga tidak menjadi penghambat untuk bercerai. “Sehinggaintensi cerai istri tetap tinggi. Faktor tidak langsung yang turut berkontribusi terhadap intensi cerai berdasarkan model yang fit adalah faktor pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seorang istri, intensi cerainya semakin rendah,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)