Kedaulatan pangan secara konseptual dapat diartikan sebagai hak setiap bangsa. Ia mestinya menjamin setiap rakyat untuk bisa memproduksi pangan secara mandiri, dan dalam prakteknya bisa menerapkan sistem pertanian, peternakan dan perikanan tanpa intervensi dari pihak luar yang merusak. “Ujung-ujungnya bermuara pada pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat, tanpa ada ketergantungan pihak lain,” papar Prof. Dr. Ir. Ali Agus di Grha Sabha Pramana, Selasa (17/7) saat berlangsung Diskusi “Menggapai Kedaulatan Pangan: Antara Cita-Cita dan Realita”.
Untuk itu, kata dosen Fakultas peternakan UGM, perlu dilakukan jihad menuju kedaulatan pangan. Baginya jihad kedaulatan pangan sudah sangat mendesak, sebab petani selalu menderita tidak bisa menikmati hasil panenan akibat serangan pangan impor. “Konsumen pun lebih memilih produk impor dibanding produk negeri sendiri,” katanya saat menjadi moderator.
Mengangkat topik “Politik Pangan Nasional Dan Pembiayaan Pertanian”, mantan Menteri Koperasi Adi Sasono menandaskan selalu ada motif ekonomi dibalik tindakan politik. Politik bukan sekedar wacana, konsep-konsep ataupun tulisan-tulisan, namun ia berwujud tindakan. “Termasuk politik pertanian, bisa dipastikan selalu ada motif uang, ekonomi dibalik kebijakan-kebijakan pertanian yang dikeluarkan,” katanya.
Menjadi pembicara diskusi, Adi Sasono menyebut politik pembangunan saat ini “bias sektor modern” dan “bias kota” yang berakibat pemusatan pemilikan tanah karena ekspansi modal besar yang difasilitasi perundang-undangan dan jasa birokrasi. Akibatnya terjadinya proletarisasi massal dengan jumlah buruh tani meningkat pesat.
Prof. Dwijono Hadi Darwanto, Guru Besar Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM menyayangkan kebijakan ekonomi pemerintah di bidang pertanian yang lebih menitik beratkan subsektor pangan yang berdampak pada lemahnya pengaturan di subsektor lain, terutama perkebunan, peternakan dan hortikultura. Hal tersebut mengindikasikan semakin lemahnya produksi dan perdagangan produk dari subsektor tersebut, baik di pasar domestik maupun ekspor. “Hal itu memperlihatkan prduktivitas, mutu dan ketersediaan produk masih menjadi persoalan mendasar bagi upaya peningkatan daya saing produk perkebunan, peternakan dan hortikultura, terutama buah-buahan,” ungkapnya.
Diskusi dalam rangkaian Research Week UGM tahun 2012 dibuka Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Prof. Dr. Suratman, M.Sc. Dikatakannya, kedaulatan pangan bukan hanya masalah politik pangan, melainkan komitmen kesadaran masyarakat. “Sadar bahwa pangan Indonesia adalah rohnya. Komitmen inilah yang menjadi milik kita bersama, masyarakat Indonesia,” katanya saat membuka diskusi. (Humas UGM/ Agung)