Bukan kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Jawa kuno, manusia yang mampu membuat 1.000 candi dalam tempo satu malam demi memenuhi permintaan Rara Jonggrang, putri cantik yang ingin dipinangnya. Cerita yang satu ini berbeda dan nyata terjadi. Sosok ‘Srikandi’ yang satu ini mampu mengubah satu genggam kedelai menjadi ribuan ton, tentu saja tidak dalam tempo satu malam, tidak pula dilakukan sendirian, tetapi dengan mengajak ribuan petani untuk menanam Mallika, kedelai hitam varietas asli Indonesia.
Wanita bertubuh mungil, Ir. Setyastuti Purwanti, M.S., masih ingat betul kala ia tidak sempat untuk menimbang berat butiran biji-bijian kedelai berwarna hitam itu. Ia pun tidak tahu nama kedelai pemberian koleganya, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, Prof. Mary Astuti. Hanya pesan singkat yang diingatnya, “Ini coba ditanam.â€
Oleh dosen Permuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian ini benih-benih tersebut ditanam dengan baik. Selama tiga bulan, ia dapat memanen 40 kilogram meskipun tidak semua berhasil baik. Kedelai yang semula hitam, beberapa muncul warna putih. Ia pun harus memilah lagi. Lantas, kedelai yang tidak bernama dan bertuan itu dicoba ditanam di kawasan Puncak, Bogor, hingga dapat dipanen sebanyak 940 kilogram pada tahun 2002.
Cerita pun berlanjut. Atas permintaan Yayasan Unilever, kedelai diminta untuk diperbanyak sebagai bahan baku produksi kecap, yang kini dikenal dengan merk dagang Kecap Bango. Namun, permintaan itu tidak langsung disanggupi. Uji daya hasil kedelai belum dilakukan. Bermodal bahan baku yang kurang dari satu ton itu, Setyastuti mulai bergerilya. Disusurinya satu per satu desa di wilayah Imogiri dan Bambanglipuro, Bantul, untuk bertemu para petani yang biasa menanam kedelai.
Dibantu tiga mahasiswa, Setyastuti berhasil menemui beberapa kelompok tani. Namun, tidak semua menanggapi maksud baiknya karena mereka terbiasa menanam kedelai kuning sehingga enggan untuk diajak menanam kedelai yang lain. “Waktu pertama saya cari kelompok tani untuk tanam kedelai itu susah banget. Berangkat dari jam 7 pagi hingga pulang jam 7 malam. Sudah ketemu ketua kelompoknya, nanti dibilang, ‘Itu tergantung anggota kelompok kita, Bu’. Lalu, kita sosialisasi dulu. Saya awalnya juga bingung, membina petani itu seperti apa?†kenangnya.
Kepada petani, Setyastuti selalu menekankan bahwa menanam kedelai hitam tak ubahnya kedelai kuning. Yang lebih menguntungkan, semua hasil panen akan dibeli langsung oleh Unilever di atas harga pasar. Setyastuti akhirnya berhasil merayu ratusan petani untuk menanam kedelai hitam di Bambanglipuro, Bantul, dan Sumbermulyo, Klaten. Masing-masing area seluas 8 dan 25 hektar. Benih yang kurang dari 1 ton disebar di kedua tempat tersebut dengan janji bahwa semua hasil panen akan dibeli oleh pihak pabrik secara langsung.
Agar dapat menghasilkan panen dengan kualitas yang lebih baik, petani selalu didampingi dan dibina. Panen pertama yang dilakukan pada pertengahan 2003 berhasil mendapatkan 20 ton. Sesuai dengan janji sebelumnya, semua hasil panen pun langsung dibeli melebihi harga pasar Rp2.200,00. “Kita minta Unilever beli dengan harga tinggi, yakni Rp3.500,00/kg. Mbok ya ditambah seribu lah, soalnya tidak lewat tengkulak, beli langsung ke petani,†katanya.
Petani Pingsan
Cerita memilukan sempat mewarnai saat panen pertama di Klaten. Kedelai hasil panen pertama menumpuk di rumah Ketua Kelompok Tani Sumbermulyo. Permintaan dari Unilever, kedelai yang dibeli betul-betul dalam kualitas yang baik, utuh, kering, dan bersih. Sementara itu, hasil setoran panen pertama belum sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan. Terpaksa, sang ketua kelompok meminta anggotanya membersihkan kembali kedelai-kedelai itu. “Si ibu ini sempat stres dan takut melihat tumpukan kedelai di rumahnya. Yang mau membersihkan itu (ibu-ibu) yang sepuh-sepuh, sedangkan yang muda-muda nggak mau. Jadi, nambah beban, sampai dia di-opname di Sardjito,†kenang Tutik, sapaan akrabnya.
Hingga akhirnya Setyastuti memutuskan untuk membersihkan hasil panen puluhan ton kedelai itu di Balai Benih Klaten supaya petani tidak patah semangat. Seraya menjenguk si ibu yang dirawat di rumah sakit, ia menyampaikan hal itu. Namun, perjuangan tak berakhir di situ. Saat panen, Setyastuti harus berhadapan dengan empat orang tengkulak. Mereka bermaksud membeli kedelai hitam kepada petani. Beberapa petani bahkan sudah diiming-imingi dengan praktik ijon. Mengetahui hal itu, Tutik pun langsung menemui para tengkulak. Bukan langsung mengusir atau menghardik, Tutik menyarankan para tengkulak untuk membeli semua hasil panen dengan harga yang lebih tinggi dari Unilever. “Bapak jangan beli sesaat, tapi monggo silakan beli semua. Nanti bapak-bapak (petani) di sini meri (iri-red) kalau panjenengan membeli lebih mahal dari Unilever,†ujar Setyastuti menirukan ucapannya sendiri kala itu. Akhirnya, si tengkulak pun mengurungkan niatnya.
Libatkan 7.000 Petani
Setelah sukses panen pertama di Bantul dan Klaten, Setyastuti mulai mengajak petani di daerah lain, di antaranya Ngawi, Madiun, dan Probolinggo, untuk melakukan hal yang sama. Bertahun-tahun ia menghabiskan waktu dengan petani. Tidak terbayang sebelumnya, wanita kelahiran Solo ini harus benar-benar total terjun langsung ke lapangan. Membina petani pun ia tidak mempunyai banyak pengalaman. Selama ini, sejak pertama menjadi dosen pada awal 1980-an, ia hanya mengajar dan meneliti di laboratorium benih. Namun, semakin sering bertemu dan bertatap muka dengan petani, ia semakin paham. “Semakin sering kita ketemu, kita makin bisa. Mereka merasa seperti di-uwongke,†katanya.
Dalam setiap kesempatan pertemuan, Tutik senantiasa berujar bahwa yang dilakukannya bukanlah sebuah proyek penelitian, melainkan tulus untuk membantu kehidupan petani berkelanjutan hingga anak cucu. “Ini semua demi petani. Kita butuh banyak dan berkelanjutan,†tuturnya.
Pada awalnya dalam satu musim tanam, Setyastuti bersama dengan asisten mahasiswanya minimal menggelar 4 kali pertemuan dengan petani, memberi contoh untuk memilih benih yang baik, menjaga jarak tanam, memakai pupuk yang baik, dan menyediakan air yang cukup. Dengan begitu, hasil panen pun diharapkan dapat optimal. Jika pada awalnya petani dapat memanen 1 ton per hektar, kini sudah bisa mencapai 2,7 hingga 2,9 ton per hektar. “Saya senang membina petani, dapat pengalaman banyak. Tidak menggurui, tapi mengajak mereka belajar bersama-sama. ‘Ayo, Pak, yo kita belajar sama-sama. Kalau sudah pandai menanam kedelai kuning, dengan kedelai hitam ini sama saja kok’,†tirunya.
Diberi Nama Mallika
Setyastuti memang tidak pernah tahu tentang varietas kedelai yang ditanamnya. Yang ia tahu, itu adalah jenis varietas lokal yang bibitnya diambil dari Purwokerto. Petani di sana pun hanya mengenalnya sebagai kedelai hitam. Saat diberikan, satu genggam butiran benih tidak semua layak dan baik, bahkan sebagian tidak utuh karena lama di perjalanan. “Tahunya (kedelai) lokal, asalnya sekitar Purwokerto dan Banyumas. Dulu namanya tidak ada. Karena lokal, maka saya lakukan pemuliannya dengan kemurnian,†katanya.
Tidak terbayang oleh Setyatuti jika kemudian kedelai hitam itu berkembang hingga puluhan ribu ton. Kini, benih kedelai itu semakin digemari dan dicari. Harganya pun mahal. Tidak sedikit yang merasa sejahtera olehnya. Sayang, hingga tujuh tahun, kedelai itu belum diberi nama meski telah ditanam oleh ribuan petani.
Sebagai peneliti, Setyastuti tidak asal tanam. Pengalaman dalam budidaya varietas tanaman membuatnya tetap melakukan penelitian. Ia juga melakukan uji varietas terhadap beberapa keunggulan dari kedelai hitam. Uji varietas dilakukan di 12 lokasi dengan dua musim berbeda. Uji tersebut juga melibatkan mahasiswa yang menggunakannya untuk bahan penelitian skripsi dan tesis. Hingga akhirnya diketahuilah potensi keunggulan si kedelai hitam, antara lain tingkat produksinya yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai hitam varietas lokal lainnya. Kedelai yang satu ini juga memiliki daya tahan terhadap kekeringan dan kelebihan air. “Rata-rata hasil produksinya 2,74 ton per hektar. Yang paling rendah sekitar 1,92 ton,†sebutnya.
Karena produksinya lebih tinggi daripada Cikurai dan Marapi, tahun 2006, Setyastuti berniat mendaftarkan benih kedelai hitam ini ke Departemen Pertanian untuk dilepas varietas. Namun, apa nama si kedelai? Akhirnya, muncul ide menamainya Mallika, diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti kerajaan. “Ide namanya dulu dari Presdir Unilever Indonesia. Beliau pesan kalau mau dilepas, minta namanya Mallika saja. Di bahasa Sanskerta, namanya kerajaan,†tutur Setyastuti.
Perasaan haru dan bangga menyelimuti Setyastuti. Februari 2007, Mallika resmi dilepas sebagai varietas unggulan nasional. Dengan munculnya Mallika, tercatat dalam sejarah Indonesia tiga kali melepas tiga varietas kedelai hitam, yakni Marapi pada tahun 1938 dan Cikurai pada 1992.
Kini, Mallika ditanam oleh sekitar 7.000 petani yang tersebar di beberapa kabupaten di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mallika dapat ditanam di lahan persawahan hingga tanah berkapur di antara pohon jati. Untuk mempermudah ribuan petani menjual hasil panennya, kelompok tani diajak untuk membuat koperasi. Melalui koperasi ini pula petani diajak untuk membuat benih Mallika bersertifikat. Kini, Setyastuti tidak lagi sendiri. Ia dibantu 28 sarjana pertanian yang selalu turun ke lapangan. “Minimal dalam setahun, empat kali saya keliling mengunjungi mereka,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)