YOGYAKARTA – Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., menyampaikan keprihatinan terhadap kondisi kerawanan pangan yang dihadapi bangsa Indonesia sehubungan dengan melonjaknya harga kedelai dunia. Kondisi itu berdampak pada perajin tempe sehingga kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku. “Dalam dua hari ini kita kesulitan memenuhi kebutuhan makanan favorit kita, yakni tempe. Kita baru sadar, tempe yang dulu sering kita ejek, tapi kita nikmati, bagus untuk kesehatan, komponen (bahan baku) impornya sangat besar,†kata Pratikno di hadapan 1.028 wisudawan Pascasarjana UGM di Grha Sabha Pramana, Rabu (25/7).
Menurutnya, ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor sangat tinggi. Namun, hal itu tidak pernah didukung dengan kebijakan upaya peningkatan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Akibatnya, Indonesia kewalahan dan nyaris tidak dapat berbuat banyak apabila terjadi permasalahan suplai pangan di negara asal pengimpor. “Tempe saja kita harus impor. Begitu ada kekeringan di Amerika, kita kesulitan untuk makan tempe. Padahal, kita sudah tahu negara kita adalah negara agraris, tetapi negara agraris yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri,†imbuhnya.
Adanya kelangkaan bahan baku tempe ini mengindikasikan bahwa Indonesia tengah menghadapai krisis pangan yang sangat serius sehingga perlu segera dirumuskan jalan keluar yang tepat. “Hal ini menunjukkan krisis pangan kita telah menghadapi masalah yang sangat serius,†kata Pratikno.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa saat ini harus diselesaikan secara bersama, termasuk oleh alumni UGM yang tersebar di setiap elemen masyarakat. “Saya kira bangsa kita membutuhkan peran dan kontribusi Saudara agar bangsa ini bisa mandiri dan bermartabat,†tambah Pratikno.
Berbagai peran nantinya dapat dilakukan alumni melalui profesi masing-masing. Kiprah alumni akan semakin menegaskan UGM untuk mampu menjadi rujukan bagi kemajuan bangsa. “Menjadi rujukan bukan berarti hanya berbicara, tetapi harus menunjukkan contoh, mampu mengembangkan iptek yang kemudian bisa dinikmati oleh masyarakat, bisa terpublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah, bisa tersampaikan melalui pengabdian dan kerja profesional serta membantu pemerintah untuk merumuskan kebijakan,†katanya.
Wisuda 1.028 Lulusan Pascasarjana
Dalam upacara wisuda pascasarjana kali ini, UGM mewisuda 1.028 orang, terdiri atas 957 master, 51 spesialis, dan 20 doktor. Lama studi rata-rata adalah 2 tahun 5 bulan untuk jenjang S-2, 4 tahun 10 bulan untuk spesialis, dan 4 tahun 6 bulan untuk jenjang S-3.
Waktu studi tersingkat untuk jenjang S-2 diraih oleh Sitti Sarifa Kartika Kinasih dari Prodi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, yang berhasil menjadi master dalam waktu 1 tahun 4 bulan. Sementara wisudawan dengan waktu tersingkat untuk jenjang Spesialis diraih Lini Sunaryo dari Prodi Ilmu Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, dengan lama studi 2 tahun 10 bulan dan jenjang S-3 diraih oleh Abdul Kadir dari Prodi Ilmu Teknik Elektro, Fakultas Teknik, dengan lama studi 2 tahun 7 bulan.
Lulusan S-2 termuda kali ini adalah Berto Usman, dari Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, yang berusia 22 tahun 7 bulan 21 hari. Jumlah wisudawan S-2 reguler yang menyandang predikat Cumlaude pada wisuda ini sebanyak 167 orang atau 17,45% dari semua lulusan S-2 dan 11 orang atau 55% dari lulusan S-3.
Indeks prestasi kumulatif (IPK) tertinggi untuk jenjang S-2 kali ini diraih oleh Hadrian Andradi dari Prodi Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, yang lulus dengan IPK 4,00. Untuk jenjang spesialis diraih Pratiwi Herowati dari Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran, yang lulus dengan IPK 3,91. Sementara itu, untuk jenjang S-3 diraih Syarifuddin Tato dari FKH dengan IPK 4,00. (Humas UGM/Gusti Grehenson)