YOGYAKARTA-Malaria tergolong penyakit menular yang masih menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan dan menyebabkan 544.470 kasus malaria dengan 900 kematian. Data dari WHO tahun 2010 menunjukkan terdapat 81 juta kasus positif malaria dengan 117.704 kematian tiap tahunnya. Di DIY peristiwa menjangkitnya penyakit malaria juga terjadi di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. Pada awal Januari tahun 2012, sebanyak 68 kasus malaria terjadi di daerah tersebut.
Berbagai usaha penanggulangan penyakit malaria telah lama dilakukan namun masih belum optimal. Beberapa faktor yang menjadi kendala dalam usaha tersebut antara lain timbulnya vektor malaria (nyamuk Anopheles) yang resisten terhadap insektisida dan parasit (Plasmodium) yang resisten terhadap antimalaria komersial yang tersedia.
“Plasmodium (khususnya P.falciparum) di beberapa negara dilaporkan mengalami resistensi terhadap klorokuin, antimalaria komersial saat ini,â€kata mahasiswa Jurusan Kimia (2008), FMIPA UGM, Dhina Fitriastuti, Selasa (31/7).
Kondisi inilah yang kemudian membuat banyak penelitian lanjutan untuk menemukan antimalaria baru. Salah satunya yang dilakukan Dhina bersama Imelda Octa Tampubolon dan Putri Ernia Wati (Jurusan Kimia angkatan 2009). Ketiganya melalui Program Kreatifitas Mahasiswa-Penelitian berhasil meneliti dan mengembangkan sintesis antimalaria dan uji antimalaria dari minyak daun cengkeh. Penelitiannya ini bahkan menghantarkan mereka menjadi juara satu pada PIMNAS ke-25 untuk kategori poster di UMY pertengahan Juli lalu.
Menurut Dhina salah satu senyawa antimalaria baru yang dapat disintesis adalah (1)-N-(3,4-dimetoksibenzil)-1,10-fenantrolinium bromida dan dapat dihasilkan dari minyak daun cengkeh. Sudah sejak lama minyak cengkeh digunakan untuk tujuan pengobatan gigi dan bahan anestesi gigi. Minyak cengkeh di Indonesia merupakan produk alami yang tidak mahal dan dapat diperoleh dengan mudah di kawasan Asia Tenggara dengan komponen yang paling dominan eugenol.
“Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa eugenol ini dapat diubah menjadi senyawa 3,4-dimetoksi benzaldehida (veratraldehida) melalui proses isomerisasi, oksidasi dan metilasi,â€tambahnya.
Ia menambahkan penelitian yang mereka lakukan dilakukan melalui tahap sintesis di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia,FMIPA dan tahap uji aktivitas antimalaria di Laboratorium Farmakologi, FK, UGM. Dhina menjelaskan tahap sintesis dilakukan dengan mengubah veratraldehida menjadi veratril alkohol dengan cara digerus dalam mortar dan pestle menggunakan reduktor NaBH4. Setelah mensintesis senyawa yang diduga memiliki antivitas sebagai antimalaria, dilakukan uji aktivitas untuk membuktikan dugaan tersebut. Uji aktivitas dilakukan dengan menggunakan metode uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem.
Sementara di sisi lain untuk melihat kemampuan senyawa sebagai antimalaria, imbuh Dhina, diperlihatkan dari nilai IC50, yang berarti konsentrasi yang dibutuhkan senyawa untuk menghambat 50% pertumbuhan sel. Semakin kecil konsentrasi yang dibutuhkan, maka akan semakin baik aktivitas senyawa tersebut sebagai antimalaria.
“Berdasarkan hasil tersebut, senyawa (1)-N-(3,4-dimetoksibenzil)-1, 10-fenantrolinium bromida memiliki nilai IC50 yang lebih kecil dari klorokuin. Ini artinya senyawa hasil sintesis memiliki aktivitas antimalaria yang lebih baik daripada klorokuin,â€terang Dhina.
Di akhir penjelasan Dhina menegaskan bahwa penelitian yang mereka lakukan merupakan suatu awal dari pembuatan obat malaria. Senyawa aktif hasil sintesis ini masih perlu diuji klinik lebih lanjut, yaitu meliputi uji in vivo, uji mekanisme aksi dan toksisitas. Untuk melakukannya, diperlukan adanya kerjasama interdisipliner ilmu yaitu dengan pihak kedokteran (dalam uji lanjutan) dan pihak farmasi (dalam pembentukan sediaan obat) (Humas UGM/Satria AN).