YOGYAKARTA – UGM membuat kebijakan populis dengan memberikan bantuan pembebasan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) selama satu semester bagi seluruh mahasiswa baru sebanyak 10.700 mahasiswa, terdiri atas 7.200 mahasiswa S-1 dan 3.500 mahasiswa diploma. Sekitar 23 persen mahasiswa juga mendapatkan pembebasan sumbangan SPMA. Yang juga menggembirakan, sebanyak 1.102 mahasiswa dari keluarga tidak mampu penerima beasiswa Bidik Misi mendapat fasilitas gratis kuliah selama 8 semester.
Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., mengatakan kebijakan pembebasan SPP dan SPMA nol dari keluarga berpendapatan terendah merupakan bentuk komitmen UGM untuk meningkatkan akses pendidikan terhadap mahasiswa kurang mampu. “Kita fokuskan pada SPP dan SPMA. Intinya kita memulai dari situ sambil menunggu kewajiban dari pemerintah yang komprehensif untuk meng-cover biaya pendidikan perguruan tinggi,†kata Pratikno.
Sesuai dengan mandat dan jati diri sebagai universitas perjuangan, universitas nasional, dan universitas kerakyatan, UGM tetap harus menjaga akses masyarakat dari seluruh pelosok Indonesia untuk masuk ke UGM. “Yang ini kan sulit dikejar dalam waktu pendek. Sementara ini justru kita kejar meningkatkan akses calon mahasiswa kurang mampu untuk lebih mudah masuk kuliah di sini,†katanya.
Selama kuliah, para mahasiswa yang berprestasi nantinya berhak mengajukan penawaran memperoleh beasiswa dari pihak ketiga. Pratikno menyebutkan hingga saat ini sekitar 43,2% mahasiswa UGM telah mendapatkan beasiswa yang berasal lebih dari 60 lembaga. “Jumlahnya beasiswa mencapai 61,3 miliar rupiah, “ ujarnya.
Anak Nelayan Asal Nias
Permata Sari Telaumbanua, 18 tahun, adalah salah satu dari 1.102 mahasiswa baru penerima beasiswa Bidik Misi. Perempuan asal Nias ini diterima kuliah di Jurusan Geografi dan Lingkungan, Fakultas Geografi. Kepada wartawan ia mengaku bersyukur dan tak menyangka dapat diterima. Kedua orang tuanya pada awalnya juga setengah tidak percaya terkait dengan kelulusannya. Bukan senang ataupun gembira, sebaliknya sang ayah saat itu meminta Permata untuk membatalkan niat melanjutkan studi karena memikirkan beratnya biaya yang kelak mereka tanggung. “Nggak usah ke sana, jauh,†kata Permata menirukan ucapan ayahnya, Sawanolok Telaumbanua. “Kalau Tuhan punya rencana, kenapa kita harus tolak, Pak?†ujar Pani, panggilan akrab Permata.
Tekad dan keinginan keras Pani menjadikan sang ayah luluh setelah dijelaskan bahwa kedua orang tuanya tidak perlu membayar uang sepersen pun untuk biaya kuliah. Namun, bagaimana dengan ongkos berangkat ke Yogyakarta? Ternyata kedua orang tua Pani juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk itu. Ibunya, Yuni Ramarepa, lalu mengundang sanak saudara. Kepada kerabatnya, Yuni menyampaikan Pani diterima di UGM. Untunglah, beberapa orang adik iparnya bersedia membantu. “Ada tiga om yang bantu,†kata Pani.
Menurut penuturan Pani, ia bersama dengan kedua orang adiknya tinggal di Desa Saewe, Kecamatan Gido, Nias. Hidup keluarganya ditopang oleh hasil jerih payah sang ayah sebagai nelayan. Bila melaut, selama 4-5 hari ayahnya tidak pulang. Jika kapal sudah merapat, hasil tangkapan akan dibawa ibunya ke pasar tradisional Gunung Sitoli untuk dijual. “Dapat uang Rp300.000,00 sampai Rp500.000,00,†kata perempuan mungil berambut panjang ini.
Hidup dengan kondisi keterbatasan tidak hanya dialami oleh Pani. Sebagian besar penerima Bidikmisi merupakan anak dari keluarga kurang mampu, tetapi berprestasi.
Anak Buruh Perajin Peyek
Eko Nurcahyo Pratomo (19) memperlihatkan sepeda ontel miliknya yang tersimpan di sudut ruang, di antara tumpukan bata dan dinding bambu yang sudah lusuh. Sepeda yang dibeli ayahnya 7 tahun lalu itu belum juga diperbaiki setelah bertabrakan dengan sepeda motor dua bulan silam. Ia ingat persis, peristiwa itu terjadi saat ia hendak mengikuti hari pertama Ujian Nasional Sekolah. Padahal, sepeda federal putih itu telah berjasa mengantar Eko ke sekolah yang berjarak 5 kilometer dari rumah.
Eko mafhum mengapa ayahnya belum membawa sepeda itu ke bengkel. Ia pun tidak menuntut agar sepeda itu lekas diperbaiki. Itu pula yang dilakukannya saat akan mengikuti acara tour pendidikan yang dilaksanakan sekolahnya. Teman sekelasnya banyak memilih tour ke Bali. Karena berat di ongkos, atas saran sang ayah, Eko lalu menghadap gurunya agar dapat memilih tour sendiri ke Jogja atau Magelang saja. “Waktu itu saya hanya hanya habis uang Rp125.000,00, saya ambil dari tabungan,†kenangnya.
Anak pasangan penggembala kambing dan buruh perajin peyek asal Kebon Agung, Imogiri, Bantul, ini memang tidak pernah mengeluh kepada orang tuanya. Sejak kecil ia sudah diajarkan untuk terbiasa hidup sederhana. Selama bersekolah, ayahnya hanya sanggup memberi uang saku Rp10.000,00 seminggu. Dari sisa uang saku inilah, Eko menyisihkan untuk menabung dan membeli kebutuhan buku sekolah. Ayahnya, Tri heru Sumaryadi (44), hanya seorang peternak kambing (kini tinggal 2 ekor), sedangkan ibunya, Widayati (39), buruh perajin peyek. Sesekali ayahnya bekerja sambilan sebagai buruh bangunan tidak tetap. Praktis dari hasil keringat ibunyalah, asap dapur masih bisa mengepul. “Dari bantu menggoreng peyek, saya dibayar Rp15.000,00 sehari,†kata Widayati yang sudah bekerja 13 tahun ini.
Meski hidup dengan kondisi keterbatasan, tidak membuat keluarga Tri Heru Sumaryadi patah arang. Padahal rumahnya yang ambruk oleh gempa 2006 lalu belum juga selesai direhab. Hanya sepertiga bagian rumah yang mampu diperbaiki, selebihnya masih ditutup dengan tumpukan bata yang dilapisi gedhek. Beruntung, Tri Heru memiliki anak yang cerdas. Kendati bukan tipe kutu buku, Eko memiliki kemampuan daya ingat yang baik. Sejak duduk di bangku SMP dan SMA, Eko langganan juara kelas dan mendapat beasiswa. “Dia tak suka sayur. Tiap hari itu sukanya makan sambal peyek, †ujarnya.
Eko kini diterima kuliah di Jurusan Kimia FMIPA UGM. Lewat beasiswa Bidikmisi, Eko dibebaskan biaya kuliah hingga delapan semester. Selama kuliah, ia mendapatkan uang saku sebesar Rp600.000,00 per bulan. Mengetahui anaknya dibiayai hingga lulus, Tri Heru sumringah. (Humas UGM/Gusti Grehenson)