Jimpitan merupakan fenomena sosial budaya menarik milik masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Bahwa kebiasaan Jimpitan yang dilakukan masyarakat sesungguhnya merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Indonesia yang jika direvitalisasi bisa mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan manusia. Dengan alasan itulah, Surono, staf peneliti Pusat Studi Pancasila UGM membawa konsep Jimpitan ke dalam forum Internasional yang digelar di Chiang Mai pada tanggal 26 – 27 Juli 2012 lalu. Bertajuk Towards an ASEAN Economic Community (AEC): Prospects, Challenges and Paradoxes in Development, Governance and Human Security, konferensi tingkat Internasional ini mempertemukan berbagai kalangan mulai dari Akademisi, NGO dan Lembaga Pemerintah, dan dihadiri tidak kurang dari 300 peserta dari seluruh penjuru dunia.
Dalam paper berjudul BUILD THE ECONOMIC INTEGRATION WITH JIMPITAN MODEL IN JAVANESE SOCIETY, Surono menawarkan Model Jimpitan sebagai salah sarana membangun Integrasi Ekonomi di kawasan ASEAN. Ia menilai konsep dan model jimpitan sangat tepat diterapkan di negara-negara ASEAN, sebab negara-negara di kawasan ini memiliki latar belakang sosio-kultural negara-negara ASEAN yang tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. “Ada tiga nilai utama dalam jimpitan, yaitu kebersamaan (gotong royong), sukarela, dan bergilir. Ketiga nilai ini tentu tidak berbeda dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,” katanya.
Dari rilis yang diterima Humas UGM, Rabu (8/8), Surono mengaku paper yang ditulisnya berdasarkan penelitian selama tahun 2011 di wilayah Sleman. Iapun melihat latar belakang tingkat kesejahteraan negara-negara ASEAN memiliki perbedaan cukup jauh antara satu dengan lainnya. Misal dilihat dari angka HDI (Human Development Index) 172 negara di dunia, beberapa negara ASEAN masuk dalam level atas sedangkan yang lainnya pada level bawah. Salah satu contoh, Singapura berada di peringkat 27 (Very High HDI), Indonesia pada angka 111 (Medium HDI), sementara itu Myanmar 135 (Low HDI). “Tentu saja konsep kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Jawa ini mendapat sambutan sangat baik dari peserta dan pengamat ahli,” tuturnya.
Kata Surono, antusiasme peserta terlihat saat para peserta mengajukan berbagai pertanyaan berkaitan dengan jimpitan dan permintaan untuk menyalin paper miliknya. Dengan model jimpitan bisa meminimalisir ketergantungan negara-negara ASEAN termasuk negara berkembang lainnya terhadap hutang kepada negara donor, bahkan mungkin dihilangkan. “Dengan begitu tentu akan tercipta sebuah integrasi ekonomi pada negara-negara ASEAN yang ujung-ujungnya akan memperpendek jurang kesejahteraan antara negara yang satu dengan lainnya,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)