Meski masih dalam kajian, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) tidak lama lagi disahkan oleh DPR RI. RUU dinilai masih represif dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak kemerdekaan berserikat, berkumpul dan berpendapat. Sementara dalam penyusunannya terlalu banyak menyedot anggaran untuk kepentingan melakukan studi. “Sebagai RUU mestinya bisa menjaring semua aspirasi, namun RUU Ormas justru tidak sesuai dengan Pancasila, semangat demokrasi, dan bertentangan dengan konstitusi Negara,” ujar Hendro Muhaimin, MA, peneliti Pusat Studi Pancasila UGM, Selasa (14/8).
Hasil kajian Pusat Studi Pancasila UGM, melalui penelitiannya mengungkap bahwa RUU Organisasi Masyarakat (Ormas) dinilai semakin menimbulkan polemik ditengah masyarakat. Oleh karenanya sebelum benar-benar di sahkan, pembahasan RUU Ormas sebaiknya semakin banyak menjaring aspirasi dan masukan dari seluruh elemen masyarakat. “Bagaimanapun UU Ormas yang baru harus mampu mengatur ruang lingkup dan definisi ormas secara jelas terkait dengan aspek legal-administratif, termasuk visi misi yang diembannya. Jika perlu dilakukan rembug nasional guna mewadahi aspirasi semua elemen masyarakat, ” jelasnya.
Mengingat memiliki arti penting bagi kehidupan bangsa di masa depan, RUU Ormas diharapkan mampu menjadi grand desain pembangunan moral dan intelektual masyarakat. Sebagai upaya menuju kemandirian bangsa, keberadaan RUU Ormas jika tidak diperhatikan tentu bisa menjadi boomerang dan bisa mengusik kenyamanan hidup bermasyarakat.
Sebab kontroversi muncul terhadap RUU ini, manakala salah satu pasal menyebut negara memandang masyarakat sipil sebagai ancaman keamanan dan politik. Pasal yang memungkinkan pemerintah menggunakan kewenangan untuk membubarkan ormas. Akibatnya banyak muncul sikap menentang keberadaan RUU Ormas dari berbagai daerah. “Beberapa kekerasan yang dilakukan Organisasi Masyarakat selama ini kan sesungguhnya berakar dari permasalahan penegakan hukum bukan semata ormas-nya, dan berita media mestinya jangan dijadikan respon atas tindakan anarkis yang selama ini terjadi,” ungkap Hendro.
Oleh karena itu, beberapa pasal RUU Ormas perlu dilakukan penyempurnaan. Misal pasal 39 tentang Organisasi Masyaraka Asing, dimana Ayat 1 (b) terkait asas, tujuan, dan kegiatan organisasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, dan (c) dalam pelaksanaan kegiatannya bekerjasama atau melibatkan Ormas Indonesia. “Mestinya harus ditegaskan bahwa ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk benar-benar mencegah munculnya organisasi asing yang tujuannya semata-mata untuk mengambil keuntungan dari dana bencana, pemberatasan korupsi, dan hak asasi manusia. Walaupun sudah sedikit diuraikan tegasnya dalam pasal 40, namun perlu mengumumkan sumber, jumlah, dan penggunaan dananya yang terperinci,” katanya.
Juga pada pasal 34 Ayat (2) disebutkan, bantuan atau sumbangan dari orang asing atau lembaga asing harus diberitahukan dan atau dengan persetujuan pemerintah. Melihat pasal ini, perlu kiranya membuat kajian lebih dalam tentang asumsi-asumsi mengenai organisasi asing, bantuan asing terkait dengan stabilitas negara. “Tentu tidak bijak jika sebuah Undang-undang yang notabene akan mengikat umum dibentuk hanya berdasarkan asumsi bukan data yang valid,” tegas Hendro.
Menurut Hendro Muhaimin, munculnya berbagai ormas di masyarakat sesungguhnya sebagai reaksi masyarakat atas ketidakpedulian pemerintah atas faktor-faktor ketidakjelasan arah kebijakan nasional dalam rangka menegakkan hukum. Karenanya, ia berharap Organisasi Massa ke depan harus memiliki program yang jelas, berbadan hukum, sesuai dengan asas UUD 1945, Pancasila, dan menjaga nilai Kebhinekaan dan menguatkan sendi-sendi NKRI. Dengan harapan seperti itu tidak menutup kemungkinan pemerintah dan Ormas untuk saling bekerjasama. “Kejelasan peran dan posisi pemerintah yang mewakili otoritas negara jelas sangat dibutuhkan untuk tetap menjamin bahwa keberadaan ormas tidak berpotensi merugikan, apalagi membahayakan kenyamanan kehidupan publik,” ungkapnya. (Humas UGM/ Agung)