Tidak meratanya penyebaran tenaga dokter di pedesaan mengakibatkan tenaga keperawatan melakukan intervensi medik bukan intervensi perawatan. Mengingat perawat sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor HK.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Pasal 8 ayat (3) Permenkes menyebutkan praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. dari pasal tersebut menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri (independent) berdasar pada ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tugas utama adalah merawat (care) dengan cara memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan psikologis pasien.
“Dengan kata lain, perawat memiliki hubungan langsung dengan pasien secara mandiri. Hubungan langsung antara perawat dengan pasien utamanya terjadi di rumah atau puskesmas yang mendapatkan rawat inap atau pasien yang mendapatkan perawatan di rumah, home care,” ujar M. Fakih, S.H., M.S, di Fakultas Hukum UGM, Rabu sore (15/8) saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor UGM Bidang Ilmu Hukum.
Sementara perawat yang melakukan keperawatan mandiri menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) PP No.32 Tahun 1996 jo. Pasal 12 ayat (1) Permenkes Nomor HK.02.02/Menkes/148/2010 memimiliki kewajiban diantaranya menghormati hak pasien, memberi informasi, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi dan kode etik keperawatan. Sehingga kewajiban perawat tersebut menjadi hak bagi pasien. “Dengan begitu, hubungan antara prawat dan pasien merupakan hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Oleh karena itu, aspek keperdataan dalam pelayanan keperawatan berpokok pangkal pada hubungan pasien dan perawat,” papar Fakih, dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung saat mempertahankan desertasi “Aspek Keperdataan Dalam Pelaksanaan Tugas Tenaga Keperawatan Di Bidang Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Lampung”.
Kata Fakih, hingga saat ini perjanjian keperawatan atau informed consent keperawatan belum diatur secara tertulis dan baru mengatur informed consent tindakan kedokteran sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga tindakan medik yang dilakukan perawat pada prinsipnya berdasar delegasi secara tertulis dari dokter. Kecuali dalam keadaan darurat, perawat diizinkan melakukan tindakan medik tanpa delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat (1) Permenkes No. HK. 02.02/Menkes/148/2010, dan aturan Permenkes ini pada dasarnya mirip dengan rumusan yang dikeluarkan oleh American Nurse Association (ANA) di tahun 1970. “Perluasan tugas yang diberikan pada perawat di Amerika sejak tahun 1970 tentu tidak berarti peranan perawat yang diperluas dapat ditafsirkan seluas-luasnya. Artinya, tidak semua tindakan medik dan wewenang profesi kedokteran dapat dilakukan oleh perawat,” katanya.
Permasalahan ini tentu saja tidak hanya berimplikasi pada upaya preventif dan kuratif, namun juga pada spek etika dan hukum. Sebab tindakan medik yang dilakukan oleh perawat dalam kondisi darurat dalam praktik belum menunjukan batas-batas yang jelas. Dalam konteks ini perlu dirumuskan secara yuridis terhadap tindakan medik tersebut, sehingga tindakan medik yang dilakukan oleh perawat akan lebih terlindungi. “Aturan yang memadai mutlak diperlukan dalam menegakkan hak dan kewajiban. Perawat perlu perlindungan dan kepastian hukum, sebagaimana pasal 28D ayat (1) UUD NKRI 1945 yang menyebut, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum,” jelas Fakih, laki-laki kelahiran Bandung, 18 Desember 1964.
Fakih berkesimpulan rumah sakit pemerintah dan swasta pada prinsipnya bertanggungjawab atas segala kerugian pasien yang diakibatkan oleh tindakan perawat. Sebab pihak rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban berdasar Pasal 1367 KUHP Perdata. Sementara untuk pelayanan kesehatan secara mandiri (independent) di rumah sakit dan perawatan rumah (home care) memiliki hubungan langsung dengan pasien. Bahwa hubungan perawat dan pasien tersebut merupakan hubungan keperdataan yang didasarkan pada kepercayaan. “Berdasarkan hubungan hukum antara perawat dan pasien inilah lahir perjanjian keperawatan, dimana kedudukan perjanjian keperawatan dalam hukum perdata Indonesia sebagai perjanjian bernama, nominaat contract dan sifat keperdataannya adalah suatu perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu sebagaimana yang diatur dalam 1601 KUHPPerdata,” imbuhnya.
Untuk itu, diakhir disertasi Fakih memberi saran agar dalam pembuatan undang-undang praktik keperawatan, Pemerintah dan DPR perlu mengatur secara tegas tentang hak dan kewajiban perawatan dalam melakukan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit, puskesmas, sarana kesehatan lain dan masyarakat. Disamping itu, dalam undang-undang tersebut perlu diatur mengenai kewenangan dan kompetensi pelimpahan untuk melakukan tindakan medik kepada perawat, terutama yang bekerja di pedesaan dengan tetap memperhatikan doktrin locally rule. “Adanya undang-undang tentu akan memberikan kepastian hukum di kalangan para perawat dalam menjalankan profesinya,” ungkap Fakih dalam sarannya, dan dinyatakan lulus program doktor ilmu hukum UGM. (Humas UGM/ Agung)