Interaksi diri dengan teknologi internet tak sedikit memberi dampak negatif. Apalagi interaksi dengan internet yang berlebihan memberi dampak negatif yang signifikan pada kehidupan remaja usia 12-18 tahun. Bahkan media masa di Indonesia menyoroti kecenderungan meningkatnya korban remaja akibat penggunaan facebook pada awal Februari 2010, dan Komisi Perlindungan Anak paling tidak mencatat 100 laporan pengaduan dengan korban anak-anak dan remaja akibat penggunaan negatif interaksi dunia maya pada awal-awal tahun 2010.
Menurut Lidia Sandra, dosen Fakultas Psikologi UKRIDA, Jakarta dampak negatif terkait interaksi diri dan internet mencakup adiksi pada permainan online, cybersex, role-playing fantasi. Kerancuan identitas inpun disorot sebagai dampak buruk penggunaan internet, ancaman lainnya adalah bullying, child pornography dan penyebaran pedophilia melalui internet. “Hal ini tentu menambah daftar kekhawatiran orang tua akan bahaya internet yang mengancam anak-anak dan remaja. Berbagai modus kriminalitas baru disinyalir terjadi karena kehadiran internet seperti penipuan identitas, pencemaran nama baik, phising data pelanggan perusahaan,” ujarnya di Auditorium Fakultas Psikologi UGM, Rabu (5/9) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Kata Lidia, berbagai dampak negatif tersebut diduga karena efek anonimitas di dunia maya. Bahwa godaan anonimitas, multiplisitas dan invisibility yang terjadi saat pembuatan identitas online menjadi faktor penyebab berbedanya perilaku seseorang didunia maya. “Diri di dunia maya diwakili oleh identitas online, identitas online adalah cara individu membedakan dirinya dengan individu lain ketika terhubung ke jaringan internet, yaitu setiap kombinasi rincian yang memungkinkan pembedaan seorang pengguna jaringan dapat diakui sebagai identitas online individu,” katanya.
Terlepas dari berbagai sorotan dampak negatif interaksi diri dan internet terdapat pula dampak positif penggunaan internet. Analisis situs pribadi gadis remaja yang dilakukan oleh Stern (2002) menunjukkan bahwa internet memberikan kesempatan yang baik bagi anak-nak untuk mengekspresikan diri serta mengembangkan pengertian sosial dan seksual.
Lidia Sandra mengungkapkan ekspresi diri melalui identitas online konsisten dengan teori-teori pembentukan sosial. Identitas online dapat digunakan untuk mengeksplorasi aspek-aspek diri, memfasilitasi kesadaran diri yang lebih besar dan menjadi katalis untuk perubahan positif. Bahkan identitas online justru memfasilitasi flexible selves seseorang yang merupakan adaptasi yang wajar dan perwujudan eksplorasi diri. Dunia maya juga memfasilitasi keterbukaan emosional di ruang maya yang membuat individu mampu mengekspresikan diri dan dimengerti. “Hubungan yang berarti terbentuk di dunia maya, kerena media ini secara natural memfasilitasi individu memaparkan diri lebih intim denga mediasi layar dan nama samaran,” ungkap perempuan kelahiran Pasuruan, 5 Juli 1975 saat mempertahankan desertasi “Dinamika Psikologis Interaksi Konsep Diri dan Identitas Online”.
Didampingi promotor Prof. Drs. Koentjoro, M.Bsc., Ph.D dan ko-promotor Prof. Dr. Saifuddin Azwar, M.A dan Prof. Drs. Adrianus Meliala, M.Si, M.Sc, Ph.D, Lidia Sandra berkesimpulan aktivitas interaksi dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu instrumental, sosial dan hiburan. Sementara Aktivitas terbesar pada pengguna internet di Indonesia adalah sosial komunikasi. Sedangkan dampak interaksi berkarakter paradoksial, seperti pisau bermata dua, yaitu dapat meningkatkan atau menurunkan kesejahteraan psikologis. Bahwa dampak yang dirasakan oleh individu akan menjadi feedback bagi konsep diri untuk melakukan evaluasi terus menerus dalam memilih identitas online yang lebih sesuai. “Didapatkan titik awal dan akhir siklus tumpang tindih, yaitu upaya pencapaian kesejahteraan psikologis melalui evaluasi diri terus menerus terhadap identitas yang dipilih,” papar Lidia Sandra yang dinyatakan lulus program doktor Fakultas psikologi UGM dengan predikat cumlaude. (Humas UGM/ Agung)