YOGYAKARTA-Sosoknya sudah tidak lagi muda, tetapi semangatnya masih cukup kuat. Semangatnya untuk mencoba mengungkap fakta-fakta yang terjadi pada peristiwa G30 S/PKI. Ia adalah Ibrahim Isa. Pria kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1930 ini lama menetap di Belanda. Ia dikenal sebagai eksil atau orang yang terhalang kembali ke tanah air karena peristiwa politik sekitar tahun 1965 sehingga mereka bermukim di luar negeri seperti Belanda.
Kali ini Isa berbicara pada diskusi bukunya yang berjudul Bui Tanpa Jerajak Besi, Pikiran Seorang Eksil Indonesia di Luar Negeri bertempat di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis (6/9).
Pada diskusi yang dipandu Wakil Kepala PSPK UGM, Drs. Suharman, M.Si tersebut Isa mendesak agar tidak ada lagi kultur (budaya) kebohongan terhadap peristiwa G30 S/PKI yang selama ini masih dipertahankan meskipun telah berganti rezim.
“Jangan ada lagi kultur kebohongan dari peristiwa G 30 S/PKI,â€tegas Isa.
Menurut Isa di zaman modern sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dalil yang menyatakan bahwa “sejarah (hanya bisa) ditulis oleh penguasa.†Isa mencontohkan kultur kebohongan seputar peristiwa G30 S/PKI. Salah satu contohnya adanya kasus rekayasa dan pemalsuan buku Bung Karno, berjudul ‘Sukarno-An Autobiography, as Told To Cindy Adams†(1965). Orba dengan keterlibatan langsung Jendral Suharto telah merekayasa dan memalsu buku Bung Karno tersebut, yang disiarkan lewat Edisi Indonesia terbitan tahun 1966, dengan kata pengantar Jendral Suharto.
“Dalam buku edisi Indonesia itu disebutkan Bung Karno menjelek-jelekan Bung Hatta. Ini pemalsuan dan rekayasa Suharto,â€katanya.
Sejarah bisa diluruskan dan tidak ada yang kadaluwarsa. Seperti halnya terlihat dalam keputusan Pengadilan Den Haag (14/9-2011) mengenai kasus terbunuhnya 431 penduduk desa Rawagede oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947. Pengadilan Den Haag untuk pertama kalinya dalam sejarah kehidupan peradilan Belanda menyatakan bahwa kejahatan perang terhadap penduduk Rawagede ini tidak bisa dianggap kadaluwarsa. Pemerintah Belanda telah melakukan tindakan melanggar hukum yang harus dipertanggungjawabkan dengan membayar ganti-rugi kepada para janda dan anak-anak korban.
“Keputusan pengadilan Den Haag bisa jadi jembatan baru dalam hubungan Belanda-Indonesia. Ini pula bisa diterapkan dalam peristiwa G30 S/PKI yang masih dijumpai beberapa kebohongan dan rekayasa,â€katanya.
Isa yang waktu itu dipandang sebagai intelijen PKI yang ada di Belanda ini selalu mengingatkan kepada pemerintah adanya tugas besar serta tanggungjawab untuk merehabilitasi hak-hak kewarganegaraan dan politik warga yang tidak bersalah dan telah menjadi korban sekitar peristiwa tragedi nasional yang terjadi pada kurun tahun 1965-1969.
Sementara itu dosen Ilmu Sejarah UGM, Drs. Arif Akhyat, M.A. yang juga hadir pada diskusi tersebut menilai apa yang disampaikan Ibrahim Isa sangat penting bagi upaya pelurusan dan perkembangan sejarah Indonesia. Apalagi sejarah pada kurun waktu sekitar 1962-1963 tidak banyak diungkap dalam buku maupun pelajaran sejarah khususnya di perguruan tinggi.
“Sangat penting untuk menjelaskan sejarah yang sebenarnya. Apalagi jika kita lihat sejarah di tahun ‘60an tidak banyak diungkap,â€katanya.
Dalam tulisan-tulisan yang disiarkan sejak sekitar jatuhnya Suharto, Isa dengan keyakinan selalu mengemukakan masih belum selesainya tugas Indonesia membangun bangsa. Tugas ‘nation-building’ masih tetap tugas utama dan fundamental bangsa Indonesia.
Sebelum tinggal di Belanda, Isa dan keluarganya sempat menetap di Cina selama sepuluh tahun. Sebelum akhirnya pada awal tahun 1980-an memutuskan untuk pindah ke Belanda dan meminta suaka politik di sana (Humas UGM/Satria AN)