Saat ini masih terjadi kesenjangan antara das sein dengan das sollen dalam perlindungan hak pengidap HIV/AIDS. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari adanya perlakukan diskriminatif terhadap para pengidap HIV/AIDS. Kelemahan dalam memberi perlindungan pengidap HIV/AIDS memberikan dampak terhadap peningkatan pengidap HIV/AIDS. Oleh karena itu, hukum sebagai sarana pengawasan sosial diharapkan dapat memberikan perlindungan hak pengidap HIV/AIDS, dengan nilai non diskriminasi, toleransi dan empati.
Di Indonesia penyebaran HIV/AIDS hampir merata di seluruh provinsi, hal ini terbukti dengan adanya laporan kasus AIDS di 27 provinsi dan infeksi HIV dari 29 provinsi di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan pada tahun 2011 memperlihatkan sekitar 26.400 pengidap AIDS dan 66.600 pengidap HIV positif, lebih dari 70 persen generasi muda usia produktif 20-39 tahun. Proporsi tertinggi usia 20-29 tahun (47,2 persen), 30-39 (31,3 persen) dan 40-49 (9,5 persen). cara penularan melalui heteroseksual (53,1 persen), jarum suntik (37,9 persen), hubungan sejenis (3,0 persen), perinatal (2,6 persen) dan transfusi darah (0,2 persen).
“Meningkatnya jumlah pengidap HIV/AIDS mendorong pemerintahan suatu negara merevisi berbagai kebijakannya. Perubahan kebijakan tersebut dilakukan tentu dipengaruhi kehawatiran terhadap ancaman penyakit, serta adanya fakta sering terjadinya tindakan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS dan belum ditemukannya anti virus yang dapat mencegah perkembangannya,” papar Fadlansyah Lubis, Asisten Deputi Bidang Hukum HAM, Aparatur Negara dan Kominfo, Setkab, di Fakultas Hukum UGM, Jum’at (7/9) saat melaksanakan ujian terbuka program doktor.
Mempertahankan disertasi “Sistim Hukum Dalam Perlindungan Hak Pengidap HIV/AIDS”, Fadlansyah mengungkapkan perlindungan hak pengidap HIV/AIDS pada kenyataan belum sepenuhnya memenuhi nilai-nilai hak asasi kemanusiaan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh perilaku aparat pelaksana yang terkait dengan perlindungan pengidap HIV/AIDS, misalnya di Rumah Sakit dan Lembaga Pemasyarakatan.
Aparat pelaksana di dua lembaga tersebut, menurut Fadlansyah, cenderung bersifat diskriminatif terhadap para pengidap HIV/AIDS. Banyak terjadi kasus di Rumah Sakit pengidap HIV/AIDS tidak mendapat pelayanan kesehatan dengan baik, bahkan hingga terjadi penolakan perawatan. Penolakan ini dengan berbagai argumentasi, seperti keterbatasan fasilitas kesehatan dan alasan lain yang memberi kesan pihak Rumah Sakit tidak mau melakukan perawatan. Pun perlakuan diskriminatif yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan ditentukan dengan tidak adanya akses perawatan kesehatan yang memadai dan adanya pembiaran terhadap mereka para pengidap HIV/AIDS.
“Adanya perlakukan diskriminatif tersebut, maka negara perlu memberikan perlindungan dan jaminan terhadap pengidap HIV/AIDS, salah satunya dengan merevisi atau menerbitkan peraturan perundang-undangan yang melindungi pengidap HIV/AIDS dari segala tindakan diskriminatif,” tuturnya.
Dari kajian terhadap UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights dan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Juga terhadap UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit serta UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Fadlansyah berkesimpulan potensi perlindungan masih bersifat umum dan parsial. Padahal semestinya perlindungan HAM bersifat komprehensif, partisipatif dan non diskriminatif. “Prinsip ini tentunya sesuai dengan kedudukan setiap individu yang sederajat sebagai umat manusia dan memiliki kebaikan melekat, inherent, di dalam harkat dan martabatnya masing-masing,” ungkapnya.
Disimpulkan pula bila aparat pelaksana Rumah Sakit dan Lembaga pemasyarakatan belum sepenuhnya berfungsi memberikan perlindungan hak pengidap HIV/AIDS. Sebab pada kenyataan para HIV/AIDS seringkali mengalami berbagai diskriminasi, tidak ada empati, tidak ada pengayoman dan perlakuan negatif lainnya. Rumah sakit kadangkala menolak pasien yang terkena virus, menunda perawatan, melanggar terhadap kerahasiaan pasien. Sementara substansi hukum dan perilaku aparat pelaksana Rumah sakit dan Lembaga Pemasyarakatan belum sepenuhnya berfungsi dalam mendorong lahirnya budaya perlindungan hak pengidap HIV/AIDS. “Rumah Sakit dan Lembaga Pemasyarakatan belum mencerminkan nilai-nilai toleransi, empati dan non diskriminatif. Perlindungan terhadap hak pengidap HIV/AIDS semestinya tercermin pada substansi peraturan dan perilaku aparat pelaksana di Rumah Sakit dan Lembaga Pemasyarakatan,” papar Fadlansyah yang dinyatakan lulus sekaligus menjadi doktor ke-78 yang diluluskan Fakultas Hukum UGM dan doktor ke-1720 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)