YOGYAKARTA-Otonomi daerah (otda) sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun. Meskipun demikian pelayanan publik di tingkat provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia sebagian besar masih memprihatinkan. Dari sekitar 525 provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia hanya sekitar 10 persen saja yang bisa menjalankan pelayanan publiknya dengan baik sementara sisanya masih harus diperbaiki lagi.
“Dari sejumlah itu baru sepuluh persen yang bisa memberikan pelayanan publik dengan baik,â€kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Mayjen (Purn) Ferry F.X. Tinggogoy pada kuliah umum mahasiswa baru Fakultas Geografi UGM, Jumat (7/9).
Selain pelayanan publik yang masih memprihatinkan, praktek distribusi anggaran juga tidak merata di banyak daerah. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat justru lebih banyak dirasakan oleh masyarakat elit dan menengah ke atas. Anggaran juga lebih banyak peruntukkannya bagi kepentingan birokrat seperti gaji PNS.
“Yang merasakan manfaat distribusi anggaran di daerah lebih banyak kalangan elit dan menengah ke atas. Ini yang harus jadi perhatian,â€paparnya.
Tidak hanya itu, dalam pengamatan anggota DPD RI asal Sulawesi Utara ini otda secara politis memang sudah berjalan namun ada sisi kebebasan yang perlu diperbaiki khususnya pada proses pilkada. Etika dan moral sudah tidak lagi menjadi pertimbangan serius dan kalah dengan kepentingan politik misalnya pada sebuah pilkada di daerah.
“Aturan bagi calon yang pernah terjerat kasus hukum bahkan narapidana sepertinya cukup longgar. Nah, disini lah bagi KPU di daerah juga lebih cermat dalam membuat peraturan pada sebuah pilkada,â€katanya.
Di hadapan sekitar 337 mahasiswa baru Fakultas Geografi itu Ferry juga sempat menjawab pertanyaan dari salah satu mahasiswa tentang persoalan ujian nasional. Ferry menegaskan bahwa DPD tetap menolak pemberlakuan ujian nasional untuk mengukur tingkat kemampuan siswa selama studi. Ferry berharap ujian nasional akan dihapus karena tidak menghormati otda dan daerah untuk berkembang.
“Jelas antara Papua dan Yogyakarta berbeda seperti dari segi fasilitas maupun guru. Jangan disamaratakan dengan ujian nasional,â€jawabnya.
Seperti diketahui otonomi daerah lahir sebagai sebuah gagasan dari koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusat?daerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilai?nilai demokrasi yang saat ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia (Humas UGM/Satria AN).