Deputi Menteri Koordinator Kesra Bidang Pendidikan dan Agama, Prof. Dr. R. Agus Sartono, MBA, mengatakan bahwa saat ini pembangunan yang menekankan pertumbuhan tidak dapat dipertahankan lagi. Model pembangunan tersebut justru semakin memperlebar ketimpangan pendapatan.
“Negara superpower yang mengandalkan pertumbuhan semata akhirnya mengalami kegagalan dan mengalami krisis berkepanjangan,â€terang Agus, Senin (10/9) dalam acara dialog interaktif “Peningkatan Kualitas SDM, Penanggulangan Kemiskinan, dan Pertumbuhan Inklusif di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Guna mengantisipasi hal tersebut, lanjut Agus Sartono, perlu dipikirkan suatu model kombinasi antara pertumbuhan ekonomi, kesetaraan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Model pembangunan tersebut diharapkan mampu menjamin keberlanjutan pembangunan negara. “Pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan mengakibatkan terjadinya gap yang makin besar dan cenderung mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Untuk itu dalam mengukur kinerja pembangunan, harus mempertimbangkan “environment costâ€,†paparnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomia dan Bisnis UGM ini menyebutkan bahwa tidak ada satu resep model pembangunan yang berlaku untuk semua negara. Begitu pula Indonesia yang mengambil pendekatan pembangunan pro-poor, pro-job, pro-growth, dan pro-environment. Pembangunan dilakukan tidak hanya mengedepankan pertumbuhan, tetapi lebih fokus lagi pada kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Pendekatan ini dipandang sangat cocok dengan kondisi Indonesia. Pemerintah juga mengantisipasi pelambatan pertumbuhan ekonomi akibat krisis ekonomi dunia. Fokus pembangunan pada aspek lingkungan menjadi sangat penting, karena keberlanjutan generasi yang akan datang sangat ditentukan oleh bagaimana perilaku generasi saat ini dalam mengelola dan melaksanakan pembangunan.
“Harus disadari bahwa pengurangan tingkat kemiskinan secara cepat dan berkelanjutan mensyaratkan pertumbuhan inklusif yang memungkinkan seluruh penduduk ikut berpartisipasi, menyumbang serta memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang tinggi memang diperlukan, tetapi jika tidak hati-hati maka justru mengakibatkan makin besarnya income disparity,†ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, untuk menjamin keberlanjutan dalam jangka panjang, perlu mencakup broad-based lintas sektor dan inklusif. Pertumbuhan inklusif harus menjamin peluang yang sama, sehingga tercipta kesempatan kerja secara luas.
Dalam kesempatan tersebut Agus Sartono turut mengajak seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk menjadikan pembangunan berkelanjutan menjadi orientasi baru pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan secara umum. Pembangunan berkelanjutan tidak hanya fokus pada pertumbuhan dan pemerataan yang selama ini dipahami, tetapi harus memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. (Humas UGM/Ika)