Kenyataan banyaknya mainan yang mengandalkan teknologi dan juga permainan invidual semakin membuat anak kurang tertarik pada interaksi, kurang empati dan enggan memahami orang lain karena sibuk dengan permainannya. Padahal, secara teori anak menggunakan bermain untuk mengkontruksi arti dan mengeksplorasi sesungguhnya untuk mendapatkan informasi yang luas. Namun bila alat bermain kurang memungkinkan anak untuk mengekplorasi lingkungan, maka anak tentu sulit berkembang secara optimal.
Demikian dikatakan Dewi Retno Suminar, S.PSi., M.Si, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, Selasa (11/9). Menjalani ujian terbuka program doktor di Fakultas Psikologi UGM, promovenda mengungkapkan bermain bagi anak dapat menjadi stimulasi bagi perkembangan kognisi, perkembangan afeksi, maupun bagi perkembangan psikomotornya. Bermain dapat pula memberikan stimulasi pada beberapa aspek perkembangan anak secara bersamaan. “Salah satu jenis bermain yang membuat anak mampu melakukan simbolisasi terhadap benda dan mengembangkan daya khayalnya, disebut dengan pretend play. Proses dalam Pretend Play ini meliputi pemberian makna, yaitu ketika anak menunjukkan perilaku ‘seolah-olah’ dalam bermain,” ungkapnya.
Dalam bermain simbolis dan khayal, kata Dewi, anak akan memaknai alat-alat yang digunakan sehingga dapat dimanfaatkan untuk bermain (aspek kognisi). Anak akan mulai terlibat dalam bermain dan mulai berpindah dari satu peran ke peran yang lain dan bagaimana dalam bermain mereka dapat membuatnya mengerti dan memahami apa yang dirasakan ketika menjalankan peran (aspek afeksi). Sementara pada saat bermain simbolis dan khayal secara berkelompok anak akan melakukan interaksi dengan anak yang lain (aspek interpersonal). Selama melakukan bermain simbolis dan khayal, anak dapat saja mengalami ketegangan dan konflik dengan anak lain yang pada akhirnya akan memunculkan cara-cara mengatasinya agar proses bermain tetap berlangsung (aspek pemecahan masalah). “Keempat aspek tersebut tentu dapat ditemui ketika anak melakukan bermain simbolis dan khayal,” katanya.
Mempertahankan desertasi “Theory of Mind, Jenis Kelamin, Usia dan Status Sosial Ekonomi-Suatu Model Teoritis Pada Bermain Simbolis dan Khayal”, Dewi menjelaskan bermain simbolis dan khayal berdasarkan analisis second order menunjukkan bila aspek kognisi, afeksi dan interpersonal cukup memberikan kontribusi yang tinggi. Bahwa ketiga hal tersebut memberikan distribusi pada spek perkembangan kognitif dan sosial. “Hasil second order memperlihatkan snak yang bermain simbolis dan khayal di masa peka, yaitu masa prasekolah akan menguatkan kemampuan kognisi, afeksi dan interpersonal,” jelasnya.
Oleh karena itu, masa prasekolah adalah masa yang tepat memberikan stimulus model bermain simbolis dan khayal. Secara nyata apabila anak mendapatkan rangsangan bermain simbolis dan khayal, maka anak akan berkembang kemampuan kognisi, mampu memahami orang lain dan terasah secara kemampuan interpersonalnya. Perilaku yang demikian menjadikan anak memiliki pribadi yang empati, tahu menempatkan diri dan mampu berkomunikasi dengan baik. “Pada akhirnya anak akan tumbuh menjadi sosok pribadi yang menyenangkan,” tutur perempuan kelahiran Pacitan, 13 Maret 1967, ibu tiga anak yang dinyatakan lulus Program Doktor Ilmu Psikologi dan menjadi doktor ke-1724 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)