Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Prof. Dr. Suratman, M.Sc berpandangan upaya rehabilitasi hutan hujan tropis adalah suatu keharusan agar hutan hujan tropis Indonesia tetap terjaga kelestarian dan pengelolaannya. Salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut adalah dengan pengembangan Teknologi Silvikultur Intensif (SILIN). Teknologi SILIN ini telah diterapkan dengan model uji coba skala manajemen pembangunan hutan pada IUPHHK model dengan luasan kurang lebih 45.000 ha.
“Teknologi SILIN dikembangkan dengan melakukan kegiatan penanaman dengan sistem jalur dengan jenis dipterokarpa unggulan terpilih, dan telah terbukti memiliki pertumbuhan cepat melalui serangkaian uji jenis dan uji keturunan beberapa jenis dipterocarpa di berbagai wilayah,” katanya di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (13/9).
Memberikan sambutan saat membuka Workshop “Kebijakan dan Skema Pendanaan Pengembangan Silvikultur Intensif Untuk Mendorong Pengelolaan Hutan Alam Lestari”, Suratman menyatakan bila uji coba penanaman secara luas memperlihatkan hasil yang sangat memuaskan dan dapat dipergunakan sebagai acuan untuk merehabilitasi dengan skala lebih luas dan prediksi umur 30 tahun diameter tanaman mencapai sebesar 50 cm. Sayang, pelaksanaan SILIN masih terkendala beberapa permasalahan diantaranya masalah kebijakan dan pendanaan.
Menurut Suratman, terkait masalah kebijakan harus diakui bahwa SILIN masih terbatas pada model pengembangan, belum dikaji aspek kelayakan finansialnya secara detail. Hal tersebut masih diperlemah lagi dengan status asset yang tidak memungkinkan dijadikan agunan dan beresiko jika tidak dapat dipanen. “Dalam konteks ini terlihat government entrepreunerships tidak terefleksi dalam kebjakan saat ini,” tuturnya.
Sedangkan terkait dengan pendanaan tidak ada insentif fiskal untuk SILIN saat ini, sehingga membuat pelaku usaha enggan mengaplikasikan sistem ini untuk jangka panjang. Bahkan setelah ditebang pun kayu dari hasil tanaman SILIN masih dibebani Dana Reboisasi. “Karenanya saya berharap workshop ini memberikan hasil yang mencerahkan dalam mengupayakan pelestarian hutan alam, sehingga peranan hutan alam yang multi fungsi dapat terjaga menuju kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang,”ungkapnya berharap.
Direktur Bina Kehutanan, Departemen Kehutanan RI, Ir. Awrya Ibrahim, M.Sc menambahkan banyak pemegang HPH enggan memperpanjang ijin kontrak. Dari sebanyak 301 pemegang HPH di bulan Juli 2012, kini tinggal 294 HPH. Ia mengakui beberapa HPH memang habis masa ijin dan tidak diperpanjang karena masalah. Namun beberapa pemegang HPH lain sengaja tidak memperpanjang ijin pengelolaan. “Bisnis HPH saat ini tak seperti dulu lagi, untungnya tidak besar. Sehingga beberapa tidak memperpanjang, dan areal memang berkurang dan terbatas,” katanya.
Oleh karena itu, Departemen Kehutanan RI berharap masukan dari kalangan akademisi. Sebab tingginya ongkos produksi yang tidak diimbangi harga kayu yang layak menjadi permasalahan, bahkan harga-harga terkadang dibawah harga kayu di pasaran. “Karenanya untuk menyelamatkan hutan alam diperlukan kebijakan yang berani,” jelas Ibrahim.
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Soekotjo, M.Sc menandaskan bila sektor kehutanan adalah sektor utama pengentasan kemiskinan dan tenaga kerja. Sebab mereka yang memiliki pendidikan dan skill terbatas bisa bekerja di sektor ini. “Tidak hanya kayu yang bisa dipungut dari hutan, namun banyak manfaat lain termasuk bagaimana keterlibatan mereka dalam membangun hutan,” katanya. (Humas UGM/ Agung)