YOGYAKARTA-Lebih dari sepuluh ribu naskah nusantara saat ini tersebar di luar negeri. Dari sejumlah itu sekitar separuhnya berada di Belanda dan beberapa lokasi lain seperti perpustakaan di Inggris dsb. Menurut peneliti naskah dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Perancis, Henry Chambert Loir meskipun berada di luar negeri kondisi naskah-naskah tersebut terawat dengan baik.
“Ada yang perlu disyukuri karena naskah-naskah yang cukup tua tersebut terawat dan dibawa dengan sah seperti dibeli dsb,â€papar Henry di sela-sela penutupan Simposium Internasional ke-14 Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Kamis (13/9). Simposium berlangsung 11-13 September di PKKH UGM.
Henry menambahkan meskipun berada di luar negeri kondisi naskah itu terawat dengan baik. Selain itu naskah yang rata-rata umurnya cukup tua seperti dibuat abad ke-17 Masehi dibawa ke luar negeri dengan cara-cara yang sah seperti dibeli. Ia juga mengakui kesadaran masyarakat di luar negeri cukup bagus terkait naskah-naskah kuno maupun peninggalan sejarah lainnya.
“Kesadarannya tinggi misalnya langsung diserahkan ke museum atau pemerintah,’katanya.
Dengan adanya simposium tersebut Henry memberikan apresiasi karena bisa menjadi sarana bertukar informasi para pakar pernaskahan dalam maupun luar negeri. Pembahasan tentang naskah kuno khususnya terkait pelestarian, kata Henry, cukup penting karena keberadaannya sudah sulit ditemukan dan tidak tersedia dengan mudah di toko buku, perpustakaan atau museum.
“Teks-teks lama ini sudah jarang diketahui, toko buku tidak menjual maupun menyediakan bahan-bahannya,â€kata Henry.
Di tempat sama Ketua Umum Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara), Dr. Oman Fathurahman mengakui pentingnya pelestarian naskah-naskah nusantara yang berada di luar negeri. Saat ini Manassa bersama pihak terkait tengah merintis digitalisasi manuskrip naskah nusantara tersebut.
“Memang bukan manuskrip asli nanti yang kita bawa ke tanah air. Dan ini butuh dana yang tidak sedikit,â€tambah Oman.
Selain persoalan dana, imbuh Oman, masih ada beberapa persoalan lain seperti perawatan, teknologi serta rendahnya kesadaran masyarakat bahkan kalangan istana (kraton) tentang arti penting naskah kuno. Tidak sedikit masyarakat yang terbentur persoalan ekonomi kemudian menjual atau tidak bisa merawat dengan baik naskah kuno yang dimilikinya.
“Di beberapa istana (kraton) juga ada yang belum terbuka ketika kita akan melakukan revitalisasi naskah-naskah tersebut. Mudah-mudahan kian terbuka setelah mereka tahu dan ikut simposium,â€urainya.
Simposium Internasional ke-14 Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) ini menurut Ketua Panitia Simposium, Drs. Sudibyo, M.Hum juga menghasilkan beberapa rekomendasi penting. Rekomendasi tersebut diantaranya masukan kepada pemerintah untuk mengubah beberapa nama monumen seperti Arjuna Wijaya di Jakarta.
“Mungkin seharusnya Arjuna Jaya. Karena itu bukan Arjuna Sasrabahu tapi Pandawa. Nah, ini salah satu rekomendasi yang kita coba sampaikan disamping beberapa rekomendasi lainnya,â€kata dosen Jurusan Sastra Indonesia UGM tersebut.
Simposium yang mengambil tema Peran Istana dalam Tradisi Pernaskahan Nusantara ini diikuti sekitar 185 peserta dan 35 pemateri dari luar negeri (Humas UGM/Satria AN)