Dalam beberapa tahun terakhir fenomena afiliasi media penyiaran dengan partai politik banyak bermunculan. Kepemilikan televisi oleh sejumlah tokoh yang berafiliasi ke partai politik tidak bisa dipungkiri turut mempengaruhi penyiaran program yang cenderung bermuatan politis pada kelompok tertentu. Bahkan dalam operasionalisasinya banyak digunakan untuk mengkritisi lawan politik kelompok tertentu. Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indoensia (KPI) Ezki Suyanto dalam diskusi publik “Politik Pemberitaan Media Penyiaranâ€, Selasa (18/9) di Fakultas ISIPOL UGM.
Ezki menyebutkan saat ini televisi juga digunakan untuk mengaburkan kebenaran. Dicontohkan, pada kasus lumpur Lapindo yang disiarkan oleh TV One yang dimiliki Bakrie banyak memberitakan tentang masyarakat yag telah diberikan ganti rugi. Bahkan dalam pemberitaan kasus Lapindo diubah dengan sebutan lumpur Sidoarjo. “Akan jadi berbeda jika hal tersebut ditayangkan di Metro TV milik Surya Paloh,†jelasnya.
Menurutnya, dewasa ini televisi juga seringkali digunakan untuk memframe fakta dan kebenaran. Hal tersebut dilakukan untuk memojokan ataupun menjatuhkan suatu golongan atau kelompok tertentu. “Misalnya pemberitaan di televisi tentang terorisme dibuat frame untuk memojokkan agama tertentu,†kata Ezki.
Lebih lanjut disampaikan Ezki, televisi juga digunakan sebagai media kampanye oleh golongan atau pemilik media. Selain itu, kelompok yang memiliki afiliasi dengan media terlihat mendapatkan perlakuan khusus dalam menayangkan iklan politiknya
Adanya kecenderungan tersebut, lanjt Ezki, membuat masyarakat tidak memperoleh informasi yang lengkap dan utuh terhadap suatu persitiwa sehingga menimbulkan kebingungan. Bahkan masyarakat digiring untuk mendukung golongan atau kelompok tertentu. Sebagai contoh dalam Pilkada DKI, media cenderung menampilkan cuplikan-cuplikan pernyataan maupun gambar yang mengarah pada salah satu calon secara berulang-ulang untuk menggiring opini publik. “ Apabila hal itu terus dibiarkan maka masyarakat tidak bisa bersikap obyektif dalam menilai suatu peristiwa dan pada akhirnya menjadikan mereka tidak percaya lagi kepada media. Bahkan masyarakat menjadi terbiasa melecehkan pemerintahannya sendiri,†tuturnya.
Ezki menambahkan adanya afiliasi media terhadap partai politik juga akan menimbulkan independensi pada pelaku-pelaku media. Pelaku media seperti reporter, produser, host, maupun karyawan tidak bisa bekerja secara independen. Mental dan harga diri terkait profesionalisme jurnalis menjadi menurun.
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP., staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Menurutnya, televisi dengan sifat audio visualnya menjadi salah satu media penyiaran yang cukup berpotensi dalam membentuk opini masyarakat. Bahkan untuk mengaburkan dan membelokkan suatu fakta. “Banyak teknik-teknik yang digunakan televisi sehingga membuat image suatu persitiwa jadi berbeda dari kenyataan,†terangnya.
Dalam penggambaran dan melakukan penjelasan politik, kata Hermin, televisi menunjukkan kecenderungan melakukan penyederhanaan fakta dan menyalahkan pihak tertentu. “Televisi juga cenderung menempatkan politik selalu negatif,â€imbuhnya. (Humas UGM/Ika)