YOGYAKARTA – Mayoritas masyarakat Bali suka memelihara anjing. Diperkirakan lebih dari 90 persen anjing dipelihara dengan cara dilepas dengan tingkat perawatan kesehatan yang minimal. Dampaknya, Bali sampai saat ini belum bebas dari ancaman penyakit rabies. Dari hasil penilitian, kasus gigitan anjing di Bali sangat tinggi dengan rata-rata 4.500 gigitan per bulan. Karenanya risiko jumlah orang meninggal terkena penyakit rabies cukup tinggi. Untuk 1 ekor anjing rabies saja minimal menggigit 2 hingga 3 orang tiap bulan.
Peneliti Balai Besar Veteriner Denpasar, Drh. Anak Agung Gde Putra, SH., M.Sc., Ph.D., mengatakan tidak seluruh anjing yang menggigit menderita rabies. Namun tingginya laporan kasus gigitan anjing lebih mencerminkan kesadaran masyarakat karena kekhawatiran dapat terserang rabies.
Sebelum adanya program vaksinasi rabies tahun 2008, jumlah rata-rata anjing terkena rabies setiap bulannya mencapai 11 ekor, sementara rata-rata jumlah gigitan anjing per bulan mencapai 4.589 gigitan. “Sudah 107.908 ekor anjing dimusnahkan sebelum ada program vaksinasi,†kata Gde Putra dalam pidato ilmiah Dies ke-66 Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Kamis (20/9).
Kini di Bali lebih dari 240 ribu anjing yang divaksin tiap tahunnya. Program ini diharapkan mengeliminasi penyebaran virus rabies di Bali. “Itu pun apabila program vaksinasi masssal terus dilanjutkan. Sekurang-kurangnya mencakupi 70 % dari populasi anjing,†katanya.
Disamping itu, ujar alumni FKH UGM ini, pemusnahan anjing seyogyanya dilakukan secara selektif dan terarah yakni desa tertular terhadap anjing yang memperlihatkan gejala klinis rabies atau yang diduga tertular rabies.
Rektor UGM Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.,Sc., mengatakan isu persoalan penyakit hewan tidak hanya dihadapi Indonesia melainkan juga di segenap belahan dunia. Dia mencontohkan, di eropa barat isu utama pemberitaan media massa lebih banyak didominasi oleh isu penyakit hewan. “Penyakit sapi gila, misalnya, dari pelaku bisnis hingga pemerintah, isu ini bisa menjadi sumber ketegangan antar hubungan dua negara, belum lagi isu Penyakit Mulut dan Kuku serta antrax,†ujarnya.
Dia menekankan pentingnya bagi para peneliti antar multidisiplin di UGM untuk bekerjasama dalam meningkatkan standar kesehatan ternak, kualitas hidup dan kesehatan lingkungan. “Saya yakin konten kedokteran hewan nantinya semakin penting untuk masuk dalam wilyah politik dan ekonomi,†tandasnya.
Rektor menambahkan, isu kesehatan dan keamanan produk pangan asal hewan sudah menjadi kekuatan diplomasi antar negara. Bukan lagi persoalan batas Negara dan perlindungan perlindungan komoditas. “Namun melindungi bangsanya dari komoditas barang dari luar itu berbahaya atau tidak bagi kesehatan,†ungkapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)