YOGYAKARTA – Konstruksi identitas masyarakat Papua yang diklaim sebagai orang Papua asli, baik di tingkat elite maupun akar rumput, masih menggunakan konsep etnisitas dan identitas yang bersifat geneologis. Hal ini berimbas dalam keputusan politik lokal yang menggunakan etnosentrisme dalam bidang kepemimpinan daerah. Hal itu tidak terlepas dari identitas kepapuaan yang dikonstruksikan oleh kekuatan Negara melalui politik penyeragaman di masa lalu. Akibatnya Papua mengalami marginalisasi baik secara politik maupun kebudayaan.
Hal itu dikemukakan oleh ketua DPD Golkar Propinsi Papua, Habel Melkias Suwae, S.Sos., MM., dalam ujian promosi doktor program studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (21/9). Bertindak selaku promotor Prof. Dr. Heru Nugroho dan Ko-promotor Prof. Dr. Djoko Suryo.
Dalam disertasinya yang berjudul ‘Konstruksi Identitas Kepapuaan dalam Dinamika Arus Demokrasi’, Habel mengatakan pembentukan identitas warga papua dalam relasinya, justru didominasi oleh Negara dan agama. Keduanya merupakan faktor eksternal yang cukup dominan dalam mengkonstruksi identitas papua. Namun perlakuan pemerintah pusat pada papua di masa lalu yang mengkonstruksi orang papua dalam posisi kecurigaan. Dengan dasar kecurigaan ini seolah pemerintah pusat merasa perlu untuk terus mengawasi orang Papua agar tidak memberontak.
Perlakuan yang kurang adil dan tidak fair itu sangat mengabaikan HAM dan membentuk kesadaran bahwa orang Papua seakan-akan hidup di luar tanah kelahirannya sendiri. “Perlakuan tidak adil itu menjadikan orang Papua merasa asing dengan tanah tumpah darahnya sendiri dan hidup dalam ketakutan,†ujarnya.
Menurutnya, di mata orang papua yang kritis, mereka menganggap pemerinah tidak mempercayai orang Papua. Sekalipun sudah 48 tahun bergabung dalam NKRI, pemerintah pusat terkesan memberlakukan orang Papua bukan sebagai warga negara yang patut dilindungi keberadaannya,â€tetapi separatis yang mesti diwaspadai demi tegaknya keutuhan NKRI,†imbuhnya.
Dia menyebutkan, kini jumlah penduduk Papua dalam dua dekade terakhir memang mengalami peningkatan cukup signifikan, yakni 5 persen per tahun. Namun kenaikan tersebut bukan dari penduduk asli, melainkan para pendatang dari luar Papua yang ingin mengadu nasib di Papua. Bahkan persentase penduduk Papua di perkotaan semakin kecil. “Fenomena ini terjadi di kota Merauke, Jayapura, Nabire Sorong dan Timika,†katanya.
Dia menuturkan, warga papua kebanyakan juga mengkonstruksi identitasnya dalam posisi defensif dengan permasalahan klaim oleh etnis tertentu. Di sini kemudian terjadi proses politisasi kelompok identitas atau munculnya etnisitas dan konflik etnik sebagai upaya mempertahankan diri. Sehingga pandangan semacam ini untuk membangun Papua ke depan sangat tidak cocok dengan kondisi masyarakat yang semakin heterogen. Konsepsi etnisitas yang geneologis perlu diganti dengan konsepsi kulturalis.
Dalam disertasinya, Habel menekankan pentingnya orang Papua mencoba mengkonstruksi identitasnya dengan taktik negosiasi. Dengan taktik negosiasi itu orang Papua mengkonstruksi identitas yang cair, sebuah identitas yang mengatasnamakan kekentalan golongan, etnis dan agama. Artinya, identitas tidak bersifat menetap tetapi merupakan identitas yang terbuka, dinamis, dan cair. “Kosntruksi identitas seperti itula yang sesuai dengan kondisi masyarakat Papua sekarang dan di masa mendatang, sebuah identitas yang terbuka dan mencair,†pungkasnya.
Prof. Dr. Heru Nugroho, selaku promotor, menuturkan pentingnya bagi Habel untuk menerapkan konsep identitas kepapuaannya tersebut untuk disebarkan kepada para pemimpin dan tokoh masyarakat Papua. “Identitas Papua yang cair bisa melakukan negosiasi, sehingga agama dan etnosentrik akan berkembang ke arah identitas kebangsaan,†katanya. Sementara Prof. Dr. Hartono selaku ketua tim penguji menyebutkan, Habel Suwae lulus dengan predikat cumlaude dan merupakan doktor ke-1731 yang lulus di UGM. (Humas UGM/Gusti Grehenson)