Sistem pertahanan negara yang dianut Indonesia bersifat semesta dan bertumpu pada keterlibatan seluruh rakyat berdasar atas kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara, serta memiliki keyakinan akan kekuatan sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Kesemestaan pertahanan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh.
Menurut Mayjend TNI Soewarno Widjonarko, S.Sos, MM, M.Sc, arti pertahanan negara secara normatif bukan hanya menjadi urusan elit sipil atau militer, namun seluruh rakyat Indonesia apapun profesi dan dimanapun domisilinya. Oleh karena itu, bila dasar pelibatan seluruh rakyat adalah kesadaran akan hak dan kewajiban, serta keyakinan akan kekuatan sendiri maka faktor kunci yang harus dibina adalah kesadaran dan keyakinan seluruh rakyat akan makna, urgensi, kemampuan dan bentuk-bentuk keterlibatan dalam usaha pertahanan demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Sayang bagaimana masyarakat, termasuk masyarakat akar rumput memikirkan makna pertahanan negara, faktor-faktor yang mereka nilai sebagai ancaman, harapan dan kecemasan yang mereka rasakan belum diperhatikan secara memadai didalam perumusan kebijakan, penyusunan strategi, bahkan di dalam sosialisasi sistem dan prosedur pertahanan negara, sementara pertahanan negara yang dianut masih didominasi wacana yang dikonstruksi negara,” ujar Aster Panglima TNI di Sekolah Pascasarjana, Kamis (21/9) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Dikatakan kesenjangan antara wacana pertahanan negara yang dikonstruksi negara versus makna pertahanan negara yang dikonstruksi akar rumput mendesak diteliti, sebab kekuatan pertahanan Indonesia bertumpu pada pemahaman, kesadaran, tanggung jawab dan kemauan seluruh rakyat untuk berperan serta dalam usaha-usaha pertahanan negara. Sedangkan kesenjangan yang dimaksud akan memancing pembiaran, atau respon buruk dari masyarakat.
Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tradisi fenomenologi, hasil penelitian Soewarno Widjonarko di Bangka Belitung memperlihatkan bila masyarakat akar rumput Bangka Belitung mengkonstruksi makna pertahanan negara berdasarkan pengalaman dan pengamatan mereka, terutama cara-cara aparat pertahanan dan keamanan menampilkan dirinya. Oleh karena itu, beberapa masyarakat memaknai pertahanan negara langsung menghubungkannya dengan TNI/Polri, dan ada pula yang mengkaitkan dengan situasi saat ini.
Bagi sebagian masyarakat akar rumput di Bangka Belitung, pertahanan negara berurusan dengan usaha-usaha penyelamatan negara dari serangan musuh, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini dikonstruksi dari pengalaman menyaksikan penampilan TNI/Polri yang dilengkapi senjata, latihan perang-perangan, dan baris berbaris. Kondisi ini dibaca masyarakat akar rumput sebagai keterampilan dan atribut yang mendukung peran utama sebagai alat pertahanan negara.
Sedangkan sebagian masyarakat lain memaknai pertahanan negara secara situasional, bahwa dalam keadaan damai urusan pertahanan dan keamanan dipandang sebagai urusan TNI/Polri. Namun bila muncul keadaan darurat semua orang wajib ikut membela negara sebagaimana leluhur mereka melakukan pada masa revokusi. “Pengetahuan masyarakat akar rumput di Bangka dan Belitung tentang mobilisasi umum tidak dibentuk oleh pemahamannya tentang undang-undang pertahanan negara, melainkan tersosialisasi melalui cerita rakyat, kisah kepahlawanan tokoh daerah, atau bahkan cerita rakyat yang heroik,’ tutur suami Lilis Elisa, S.Pd, ayah tiga anak.
Mempertahankan desertasi “Respon Masyarakat Akar Rumput (Grass-Roots) Terhadap Wacana Pertahanan Produksi Negara, studi kasus Masyarakat Akar rumput di Bangka Belitung”, Soewarno menandaskan berbagai kisah tersosialisasi secara turun menurun, melalui berbagai media komunikasi verbal dan sosial. Bahwa masyarakat akar rumput di Bangka Beltung mengkonstruksi makna pertahanan negara berdasarkan dunia kognitifnya (cognitive world) yang dibentuk melalui pengalaman komunikasinya. Dimana komunikasi antar pribadi berperan penting dalam pembentukan dunia kognitif masyarakat akar rumput tentang pertahanan negara, sebab komunikasi yang berlangsung antar dua orang secara tatap muka (face to face) relevan dengan pola sosial yang bercorak paguyuban. “Berpusat pada pengalaman dan pengamatan pribadi-pribadi peserta komunikasi yang saling mengenal dan mempertukarkan makna secara serempak dan setara menjadikan bias komunikasi dengan mudah dikenali,” tutur pria kelahiran Gombong 7 Februari 1957 yang dinyatakan lulus dan menjadi doktor ke-1730 UGM. (Humas UGM/ Agung)