YOGYAKARTA – Peran arsiparis mendokumentasikan pengalaman manusia dan sosial. Munculnya realitas komunitas baru dalam dunia maya, maka arsiparis diharapkan berbagi peran dengan masyarakat. Karena arsip-arsip dalam komunitas tidak hanya sebagai sumber arsip tetapi bagian dari identitas dari komunitas tersebut. “Arsiparis perlu mendengarkan dan berbicara dengan masyarakat karena masyarakat memiliki memori kolektif sendiri, punya cara sendiri dalam mengelola dan menyimpan arsip,†kata Pakar Kearsipan UGM, Drs. Machmoed Effendhie, M.Hum dalam seminar nasional kearsipan ‘Paradigma Pengelolaan Informasi dan Rekaman Kegiatan di Era Keterbukaan Informasi Publik’ di UC UGM, Sabtu (22/9).
Dalam perkembangan dunia digital baru yang serba pluralistik, menurut Machmoed, arsiparis profesional perlu mengubah diri dari ahli bidang pendokumentasian resmi secara kelembagaan untuk menjadi mentor, fasilitator, dan bekerja sama dalam masyarakat. “Tujuannya mendorong pengarsipan sebagai proses partisipatif bersama dengan banyak komunitas bukan menunggu intruksi dari institusi resmi,†tukasnya.
Oleh karena itu, dia menambahkan, arsiparis profesional dan ahli beserta lembaga-lembaga kearsipan Negara mendorong partisipasi masyarakat untuk menjaga dan merawat arsip mereka sendiri untuk melayani mereka sendiri dan pada aklhirnya untuk melayani kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Ketua Umum Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI) Andi Kasman, S.E., M.M., menungkapkan keterbukaan arsip sebagai informasi publik merupakan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi, hak untuk melihat informasi, hak untuk mendapatkan salinannya dan hak untuk mengajukan keberatan jika hak itu ditolak. Namun demikian, akses masyarakat untuk mendapatkan informasi di era keterbukaan informasi publik justru belum dilayani dengan baik.
Ia mengutip dari hasil survei KPK pada kualitas layanan publik, sebanyak 72,1 % badan publik tingkat pusat tidak merespon permintaan informasi dari masyarakat. Bahkan di daerah, permintaan informasi justru dialihkan ke badan publik yang lain, jumlahnya mencapai sebanyak 56,7%. Yang lebih parah lagi, terjadinya perlakukan diskriminasi dalam pelayanan informasi publik dan pelayanan dipersulit bila tidak memberi imbalan kepada petugas. (Humas UGM/Gusti Grehenson)