YOGYAKARTA-Pasca reformasi jumlah kasus yang diadili dengan pasal 156 a KUHP terkait Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama terus meningkat. Jika dari tahun 1965 hingga tahun 2000 jumlah kasus yang diadili mencapai 10 kasus, maka dari tahun 2000 hingga 2011 jumlah kasus yang diadili dengan pasal ini meningkat menjadi 37 kasus.
“Ini tren yang mengkhawatirkan karena apa-apa yang dianggap sesat semakin banyak saja. Yang mudah diingat misalnya kasus Lia Eden, Ahmadiah, lalu beralih kasus Syiah di Sampang bahkan belakangan untuk merespon Lady Gaga, homoseksualitas, serta “pluralisme-sekularisme-liberalismeâ€,â€tegas Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM, Dr. Zainal Abidin Bagir, pada Diskusi Publik Agama, Kekerasan dan Politik Penodaan: Membedah Kasus Sunni-Syi’ah di Sampang, di UC UGM, Kamis (27/9).
Zainal menilai peningkatan jumlah kasus yang dianggap sesat ini cukup mengkhawatirkan apalagi setelah reformasi. Penodaan atau penyimpangan, kata Zainal, dipakai sebagai bahasa untuk merespon perbedaan, bukan hanya penghinaan. Menurut Zainal hadirnya UU Penodaan Agama yang juga dipakai dalam kasus aliran Syiah di Sampang dinilai sebagai salah satu ganjalan besar untuk kehidupan beragama di Indonesia saat ini.
“Takutnya UU Penodaan Agama ini mengkriminalisasi perbedaan,â€katanya.
Terkait kasus aliran Syiah di Sampang, selain disebabkan unsur konflik agama, Zainal juga melihat beberapa unsur konflik lainnya seperti adanya persoalan keluarga, otoritas kiai, hingga politik daerah. Sementara itu meskipun Mahkamah Konstitusi menilai UU Penodaan Agama tidak bertentangan dengan UUD 1945, Zainal mendukung rencana revisi MK guna menghindari terjadinya diskriminasi.
Sementara itu mantan hakim Sahlan Said, S.H yang terlibat dalam tim eksaminasi kasus aliran Syiah, Sampang dengan terdakwa Tajul Muluk tersebut menilai pertimbangan hakim dalam mengimplementasikan ketentuan pasal 185 (6) KUHAP untuk memilih saksi-saksi tidak fair karena didasarkan subjektivitas majelis hakim.
“Kalau hakim ragu bisa menghadirkan saksi yang netral juga,â€urai Sahlan.
Pengajar pada Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik, Samsu Rizal Panggabean, M.Sc berpendapat meskipun telah terjadi kekerasan dan pembunuhan, kasus Sampang jangan dibatasi kepada masalah agresi, kekerasan, dan pelanggaran hukum. Pendekatan resolusi konflik Sunni-Syiah di Sampang sebagai masalah yang ditangani dengan pendekatan pemecahan masalah, termasuk masalah mendasar.
“Pemecahan masalah dengan penanganan masalah sosial tanpa pendekatan kekuasaan,â€tutur Rizal.
Di tempat sama, A.M. Safwan selaku pengasuh Ponpes mahasiswa Madrasah Murtadha Muthahhari Rausyan Fikr mengatakan bahwa keyakinan keagamaan tidak mungkin tanpa dinamika intelektual, spiritual, dan tanggung jawab sosial yang hidup dalam kontekstualisasi ke-Indonesiaan sebagai puncak budaya masyarakat yang objektivikasinya adalah negara berdarakan hukum dan bukan hukum agama atau negara agama (Humas UGM/Satria AN)