YOGYAKARTA-Sufi Yahudi adalah aspirasi Yahudi yang merindukan pembaharuan spiritual dan mendapati modus penghayatan Sufi sebagai instrumen dan tautan untuk mengaktifkan apa yang dipandang sebagai warisan masa lalu Yahudi. Selain itu wacana Sufi Yahudi juga menunjukkan betapa identitas seseorang itu bersifat komposit. Tradisi keagamaan kita tidak lepas dari perjumpaan dengan tradisi keagamaan lain.
“Ia merupakan suatu identitas yang lahir dari perjumpaan itu sekaligus berasal dari peneguhan tradisi yang ada dan proses peneguhan identitas sepanjang sejarah,â€tutur Leonard Chrysostomos Epafras, S.Si., M.Th pada ujian program doktor ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies) di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (27/9).
Pada kesempatan tersebut Epafras mempertahankan disertasinya yang berjudul Jewish Sufism in Medieval Egypt. Ujian ini merupakan ujian perdana ICRS yang merupakan program doktor dari konsorsium tiga universitas yakni UGM, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Universitas Kristen Duta Wacana.
Dijelaskan Epafras disertasi ini adalah sebuah studi tentang interaksi antara Yahudi dan Muslim di era Islam Abad Pertengahan, terutama di Mesir. Interaksi yang dimaksud adalah interaksi dalam hal spiritual di mana kaum Yahudi menyerap beberapa aspek dari tradisi Sufi Islam dan menggabungkannya dalam sistem mistisisme Yahudi.
“Tujuan utama penelitian ini adalah memahami milieu dan konteks aktivitas agensi di tepian identitas sang liyan, yaitu dalam hal ini yang terjadi di antara Yahudi dan Sufisme,â€katanya.
Menurut Epafras, klaim Sufi Yahudi adalah kebangkitan kembali tradisi kenabian biblika mendapatkan makna baru, dibayangkan dan diaktivasi melalui perjumpaan Yahudi dengan tradisi Sufi Muslim. Maka perbatasan atau simpadan dalam hal ini adalah interface, kanal dan persimpangan dari ekspresi keagamaan yang baru. Model ini juga menyarankan fleksibilitas dan mobilitas diri sekaligus ambiguitas dan kuatnya konteks yang menyelubungi kondisi ini ketika diri “melewati†batas tradisionalnya, dan mengubah pengalaman simpadan menjadi dramatisasi tepian identitas.
“Studi ini cukup penting agar ada gambaran dan wacana keagamaan alternative dapat dibangun dalam kerangka lebih luas menyangkut tradisi interaksi agama-agama Ibrahimi (Islam-Kristen-Yudaisme),â€tegas pria kelahiran Pasuruan, 14 November 1968 ini.
Staf pengajar di Fakultas Theologi Universtas Kristen Duta Wacana (UKDW) ini juga berharap agar melalui penelitiannya tersebut yaitu adanya pandangan baru terhadap kenyataan identitas hibrida dalam wacana antar-agama, terutama di Indonesia. Hibriditas adalah kenyataan sosial di mana pun berada, namun dalam konteks Indonesia, isu ini menjadi sangat penting. Sebagai masyarakat yang amat majemuk dan multi-kultural dalam hal budaya dan tradisi keagamaannya, isu hibriditas telah menjadi ruang kontestasi dan resistansi.
“Ini lebih problematis di era pasca reformasi ketika politik identitas dan politik penyeragaman semakin menguat hingga siapapun yang berada di area “abu-abu†akan menjadi target dari politik ini,†urai Epafras yang lulus dengan predikat cum laude itu (Humas UGM/Satria AN)