YOGYAKARTA- Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan perjalanan demokrasi di Indonesia telah diikuti hadirnya beberapa varian “penyakit†demokrasi. Ia mencontohkan merebaknya primordialisme sempit yang mengatasnamakan daerah, etnis bahkan agama, anarkhisme masyarakat hingga lunturnya nilai-nilai luhur bangsa.
“Ini yang membuat saya risau. Kalau tidak hati-hati ujungnya akan membahayakan rumah-rumah kebangsaan kita,â€kata Priyo pada Seminar Nasional Refleksi 13 Tahun Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Are We on the Right Track? di kampus FISIPOL UGM, Sabtu (29/9).
Priyo yang juga alumnus FISIPOL UGM ini menjelaskan meskipun menyisakan beberapa persoalan namun demokrasi di Indonesia juga telah membawa dampak positip. Seperti proses pemilihan secara langsung pimpinan dari level desa hingga Presiden, dibentuknya lembaga negara seperti MK dan DPD serta kebebasan pers.
“Pers menjelma menjadi kekuatan yang luar biasa dan memperkuat pilar demokrasi Indonesia,â€urainya.
Sementara itu Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A. mengatakan salah satu isu penting di era demokrasi adalah desentralisasi. Menurut Purwo desentralisasi di Indonesia telah terjebak dalam perubahan yang sifatnya cyclical atau pasang surut. Ada periode dimana Indonesia mencoba untuk memberlakukan otonomi seluas-luasnya, dan periode ini adalah periode berlaku-dominannya ajaran liberal. Ada periode dimana otonomi dijaga kadar minimal. Era ini ditandai oleh kuatnya hasrat mengelola pemerintah secara terpusat untuk menjalankan kegiatan yang terencana.
“Bahkan lebih dari itu, perjalanan desentralisasi di Indonesia sebenarnya memiliki tapak zig-zag,â€tegas Purwo .
Tapak zig zag desentralisasi ini menurut Purwo bukti bahwa perjalanan desentralisasi tidak dikawal dengan proses lesson drawing. Lebih dari itu, perjalanan zig zag desentralisasi di Indonesia adalah isyarat bahwa teori pemerintahan yang dikembangkan para ilmuwan pengkaji fenomena pemerintahan, dalam kondisi bermasalah.
Purwo Santoso mengatakan agar tidak terkurung dalam lintasan zig-zag, pemikiran desentralisasi harus didasari koreksi asumsi. Desentralisasi tidak boleh take for granted tata kebijakan dan tatanan administrasi.
“Desentralisasi harus dimaknai sebagai penciptaan tata kebijakan, yang tadinya mengandalkan peran pemerintah nasional kemudian semakin mengandalkan eksponen lokal. Desentralisasi tidak cukup dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan, melainkan transformasi sistemik keseluruhan mesin pemerintahan ini,â€katanya.
Sementara itu anggota Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo menilai penambahan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) perlu ditelaah kembali. Dalam dua tahun evaluasi menunjukkan kinerja DOB berkinerja rata-rata sedang, belum signifikan mencapai tujuan otonomi daerah dan masih terdapat daerah yang berkinerja rendah dalam peningkatan kesejahteraan daerah.
“Salah satu penyebabnya karena pembentukan DOB ini terburu-buru dan kurangnya pembinaan dari lembaga atau kementerian terkait,â€kata Ganjar (Humas UGM/Satria AN)