Relasi sosial dalam masyarakat terbukti berpengaruh dalam proses lahirnya kreativitas kesenian tradisional Tari Sorèng dan Gupolo Gunung, masyarakat Desa Banyusidi, Pakis, Magelang. Melalui hubungan sosial tersebut, masyarakat lereng Gunung Merbabu ini menyerap informasi dan membuka diri terhadap semua aspek yang dapat mendukung dan memperkaya kesenian tersebut.
Hal tersebut disampaikan, Paramitha Dyah Fitriasari, S.Ant., M.Hum., staf pengajar Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana UGM, dalam ujian terbuka program doktor, Senin (1/10) di Sekolah Pascasarjana UGM. Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Timbul Hayono, M.Sc., Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A., dan Prof. Dr. Irwan Abdullah, M.A.
Mempertahankan disertasi berjudul “Kreativitas Tari Sorèng dan Gupolo Gunung Komunitas Seni di Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Magelangâ€, Paramitha menyebutkan bahwa proses kreativitas dalam kedua tarian tersebut turut dipengaruhi dukungan kolektif masyarakat. “Tanpa masyarakat kesenian di lereng Gunung Merbabu tidak akan dapt bertahan di tengah arus perkembangan aman,†ujarnya sembari menambahkan bahwa perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor yang tak luput mendukung lahirnya kreativitas masyarakat setempat dalam mengembangkan kedua tarian tersebut.
Tari Sorèng dan Gupolo Gunung merupakan kesenian tradisional yang telah lama hidup dan berkembang di masyarakat lereng Gunung Merbabu. Sorèng merupakan tari yang dibawakan oleh 17-40 penari dengan tema kepahlawanan. Seiring perkembangan jaman, muncul improvisasi dalam kedua tarian ini. Pada kesenian Sorèng, improviasi terlihat pada musik iringan yang dilakukan dengan menambah penggunaan alat musik modern seperti drum maupun menambah ornamen, namun tanpa mengubah pola dasar iringan. Sementara dalam perbendaharaan gerak, pada tarian ini juga tampak adanya improvisasi dengan menambah aksen gerakan baik pada gerakan tangan dan kaki. “Perubahan juga terjadi pada kesenian Gupolo Gunung. Misalnya pada gerakan akan diubah ketika para penarinya tidak mampu melakukannya lalu disesuaikan dengan iringan yang ada. Selain itu ada penambahan pada jumlah alat musik truntung yang mulanya hanya menggunakan satu buah, menjadi 10-15 buah serta menggunakan alat musik moderen yakni bas drum,†urai wanita kelahiran Yogyakarta, 28 tahun silam ini.
Lebih lanjut disampaikan Paramitha dari hasil penelitian yang dilakukkannya diketahui bahwa kreativitas pada masyarakat lereng Merbabu dalam mengembangkan kedua jenis tarian tradisional khas daerah tersebut tidak hanya muncul secara kolektif masyarakat, akan tetapi juga melalui penciptaan secara individu. “ Meskipun dciptakan secara individu, tetapi bisa menjadi tradisi karena ada kerelaan dari penciptanya untuk dapat menjadi milik kolektif atau masyarakat,†katanya. (Humas UGM/Ika)